November 18, 2025 By RB

18 November 2025 – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna ke-8 masa sidang II 2025–2026 pada Selasa, 18 November. Pengesahan dilakukan setelah Ketua DPR RI Puan Maharani menanyakan persetujuan anggota, yang dijawab “setuju” oleh peserta rapat. Dari total 579 anggota DPR, hanya 242 hadir langsung dan 100 hadir secara daring.
Sementara itu, koalisi masyarakat sipil—termasuk Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)—mendesak presiden menarik draf RKUHAP dan menghentikan proses pengesahannya. Mereka menilai draf ini sarat masalah dan berpotensi menimbulkan kekacauan mulai 2 Januari 2026 karena berlaku tanpa masa transisi. Jutaan aparat dan warga disebut belum siap secara infrastruktur maupun pemahaman, sementara peraturan pelaksana belum tersedia.
Koalisi mengkritik sejumlah pasal yang dinilai membuka ruang kriminalisasi dan kesewenang-wenangan aparat. Pasal 7 dan 8 disebut menjadikan Polri “superpower” karena seluruh penyidik PPNS dan penyidik khusus berada di bawah koordinasi polisi, padahal beban penanganan perkara Polri saat ini sudah tinggi dan belum optimal menindaklanjuti laporan warga. Pasal 5, 90, dan 93 dinilai memungkinkan penangkapan, penahanan, pelarangan keluar tempat, hingga penggeledahan pada tahap penyelidikan ketika tindak pidana bahkan belum terkonfirmasi.
Isu lain yang disorot adalah potensi penyalahgunaan kewenangan dalam operasi penyelidikan. Pasal 16 membuka peluang aparat melakukan operasi pembelian terselubung dan penciptaan tindak pidana pada semua jenis kasus tanpa pengawasan hakim. Pasal 74A juga dikritik karena memungkinkan kesepakatan damai antara pelaku dan korban dilakukan meski belum ada tindak pidana yang terbukti, menciptakan “ruang gelap” penyelidikan karena penghentian penyelidikan tidak wajib dilaporkan ke otoritas mana pun.
Koalisi juga menyoroti kewenangan penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran tanpa izin hakim dalam keadaan “mendesak” lewat Pasal 105, 112A, dan 132A, yang dinilai sangat rawan dipakai dengan alasan subyektif. Pasal 124 bahkan memungkinkan penyadapan tanpa izin hakim, berlandas pada undang-undang yang belum terbentuk.
Dengan sederet persoalan tersebut, koalisi menilai substansi RKUHAP harus dirombak total agar memperkuat mekanisme pengawasan aparat, bukan sebaliknya memperluas ruang penyalahgunaan wewenang.
Related Tags & Categories :