June 15, 2025 By pj
15 Juni 2025 – Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam sektor properti. Berdasarkan laporan BestBrokers tahun 2024, Indonesia menempati peringkat keempat dalam daftar negara dengan harga rumah paling tidak terjangkau di dunia. Rasio antara harga rumah dan pendapatan rata-rata tahunan penduduk menunjukkan ketimpangan yang sangat signifikan, memunculkan kekhawatiran akan keterjangkauan hunian bagi masyarakat, terutama generasi muda dan kelas menengah ke bawah.
Riset dari BestBrokers mengungkap bahwa harga rumah di Indonesia mencapai rata-rata 1.111 dolar AS per meter persegi atau sekitar Rp18,1 juta, sementara gaji tahunan rata-rata penduduk hanya sekitar 2.299 dolar AS atau Rp37,5 juta. Rasio ini menghasilkan angka keterjangkauan sebesar 48,35%, artinya hampir setengah pendapatan tahunan warga harus dialokasikan hanya untuk membeli satu meter persegi rumah.
Menurut ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, masalah utama berada pada ketidakseimbangan antara sisi permintaan dan penawaran rumah.
“Dari sisi supply, tingkat urbanisasi di Indonesia sangat tinggi sehingga kebutuhan rumah di kota-kota cenderung melejit, padahal, ketersediaan lahan di kota-kota semakin terbatas,” jelas Samirin.
Di sisi lain, dari sisi permintaan, mayoritas masyarakat Indonesia berada pada usia muda dan memiliki aspirasi untuk segera memiliki rumah.
“Apalagi secara budaya, memiliki rumah adalah status seseorang sudah mapan,” tambahnya.
Selain itu, kalangan atas yang membeli rumah untuk investasi juga ikut mendorong kenaikan harga. Samirin menilai bahwa banyak orang kaya di Indonesia memiliki lebih dari satu rumah, bahkan hingga 4 atau 5, yang berkontribusi pada lonjakan harga properti.
Samirin juga menyoroti melemahnya daya beli rakyat akibat menurunnya daya saing ekonomi dan deindustrialisasi.
“Kenaikan harga rumah akan meningkat lebih cepat daripada kenaikan pendapatan. Bunga yang tinggi membuat besar cicilan makin tidak terjangkau,” ujarnya.
Kondisi ini sangat mempersulit masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memiliki rumah, terlebih bagi mereka yang bekerja di sektor informal dan tidak bankable.
Untuk mengatasi persoalan keterjangkauan rumah, Samirin menyarankan dua pendekatan kebijakan: dari sisi penawaran (supply) dan sisi permintaan (demand).
“Dari sisi supply, pemerintah perlu mempermudah ijin membangun perumahan untuk rakyat,” katanya. Ia juga menyarankan pengaturan pembangunan dengan sistem rasio 1:2:3— 1 rumah mewah diimbangi dengan 2 rumah menengah dan 3 rumah sederhana.
Samirin juga menegaskan pentingnya pemanfaatan tanah menganggur milik negara, BUMN, BUMD, dan swasta dengan skema insentif. Selain itu, ia menyebut konsep hunian vertikal sebagai solusi yang perlu digalakkan dengan dukungan regulasi dan insentif fiskal.
Di sisi permintaan, ia menyarankan peningkatan subsidi kredit bagi masyarakat berpendapatan rendah serta menaikkan nilai Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Pemerintah juga perlu membantu masyarakat sektor informal yang tidak memenuhi syarat bank.
“Banyak dari mereka yang mampu membeli rumah tetapi tidak bankable,” tambahnya.
Dalam laporan BestBrokers, negara dengan rumah paling tidak terjangkau adalah Turki, dengan rasio harga rumah terhadap pendapatan mencapai 81,45 persen. Diikuti oleh Nepal (59,04 %), India (49,86 %), dan Indonesia (48,35 %).
Sebaliknya, negara dengan rasio keterjangkauan terbaik adalah Afrika Selatan, dengan rasio hanya 6,22 %, disusul oleh Amerika Serikat di posisi kedua dengan 6,5 persen, berkat pendapatan tahunan tinggi warga negaranya.
Kondisi pasar properti yang semakin mahal menjadi tantangan serius bagi generasi muda. Meski ada program subsidi perumahan, banyak anak muda tidak memenuhi kriteria karena pendapatan mereka di bawah syarat minimum atau harga rumah tetap terlalu tinggi.
Laporan dari Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia mencatat bahwa harga properti residensial pada kuartal I 2025 tumbuh 1,07 persen secara tahunan, menunjukkan tren kenaikan meskipun perlambatannya dibanding kuartal sebelumnya.