January 17, 2025 By jay
17 Januari 2025 – Nama di Indonesia memiliki sejarah panjang yang mencerminkan evolusi budaya dan masyarakat kita. Di era 1970-an, masyarakat Indonesia sangat akrab dengan nama-nama yang menggunakan akhiran “wan” untuk laki-laki dan “wati” untuk perempuan. Memasuki dekade 1980-an, tren bergeser ke penggunaan akhiran “yanto” untuk laki-laki dan “yanti” untuk perempuan. Selain mencerminkan era kelahiran, nama-nama di Indonesia juga sering kali menunjukkan asal daerah seseorang. Misalnya, nama dengan awalan “Si” atau “Su” umumnya berasal dari tradisi Jawa, sementara penggunaan kata “Putra” atau “Putri” lebih sering ditemukan dalam tradisi penamaan Bali.
Berdasarkan data terbaru dari sistem e-KTP yang dirilis oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, nama-nama tradisional masih mendominasi populasi Indonesia. Untuk kategori perempuan, Nurhayati menempati posisi teratas dengan 254.922 pemilik nama, diikuti oleh Sulastri dengan 192.979 orang, dan Sumiati dengan 172.759 orang. Sri Wahyuni dan Sumarni melengkapi lima besar dengan masing-masing 163.189 dan 158.882 pemilik nama. Sementara untuk kategori laki-laki, Sutrisno menjadi nama terpopuler dengan 144.497 pemilik nama, diikuti oleh Slamet dengan 115.354 orang, dan Mulyadi dengan 111.685 orang. Herman dan Supardi melengkapi lima besar dengan masing-masing 101.990 dan 93.202 pemilik nama.
Tren penamaan bayi di tahun 2024 menunjukkan pergeseran yang signifikan dari pola tradisional. Nama-nama modern yang kompleks menjadi pilihan utama orangtua untuk bayi perempuan. Allea Shanum Almahyra menjadi nama terpopuler dengan 1.293 bayi, diikuti oleh Alifazea Amanda dengan 990 bayi, dan Adiva Arsyila Savina dengan 912 bayi. Untuk bayi laki-laki, nama Muhammad masih menjadi pilihan favorit namun dengan kombinasi modern. Muhammad Al Fatih menduduki peringkat pertama dengan 1.326 bayi, diikuti Muhammad Arsya Alfarizoi dengan 1.039 bayi, dan Muhammad Razka Raffasya dengan 693 bayi.
Pemerintah Indonesia telah mengatur secara rinci tata cara penamaan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2022. Peraturan ini bertujuan untuk melindungi hak anak dengan mencegah pemberian nama yang merugikan, memudahkan pencatatan dan administrasi kependudukan, serta melestarikan budaya dengan mendorong penggunaan huruf latin dan kaidah bahasa Indonesia.
Peraturan ini menetapkan bahwa setiap nama harus terdiri dari minimal dua kata dan tidak boleh melebihi 60 karakter termasuk spasi. Nama harus mudah dibaca, menggunakan huruf Latin sesuai kaidah bahasa Indonesia, dan tidak memiliki makna negatif atau ambigu. Selain itu, peraturan ini juga melarang penggunaan singkatan kecuali yang sudah umum dikenal, serta melarang penggunaan angka dan tanda baca dalam nama. Gelar pendidikan dan keagamaan boleh dicantumkan dalam KK dan e-KTP, namun tidak dalam akta catatan sipil.
Beberapa contoh nama yang melanggar aturan:
Peraturan ini memiliki pengecualian bagi WNI keturunan asing yang memiliki aturan penamaan sendiri sesuai adat istiadat dan tradisinya.
Keunikan budaya Indonesia dalam penamaan telah melahirkan berbagai komunitas berbasis kesamaan nama. AABI (Agus-Agus Bersaudara Indonesia) yang berpusat di Garut menjadi wadah bagi ribuan pemilik nama Agus. PAD (Paguyuban Asep Dunia) menghimpun para Asep tidak hanya dari Indonesia tapi juga dari berbagai negara. Paguyuban Sugeng dengan 7.500 anggotanya dan Jogja Endang Club yang tercatat dalam rekor MURI menunjukkan bagaimana kesamaan nama dapat menjadi pemersatu sosial yang unik.
Era digital telah mengubah cara orangtua memilih nama untuk anak mereka. Keinginan untuk memberikan nama yang unik dan mudah ditemukan di media sosial menjadi pertimbangan utama. Pengaruh budaya pop, termasuk nama-nama karakter dari game dan film populer, juga semakin terlihat dalam tren penamaan modern.
Para ahli sosial memperkirakan bahwa tren nama di Indonesia akan terus berkembang. Nama-nama hybrid yang menggabungkan unsur tradisional dan modern diprediksi akan semakin populer. Kesadaran lingkungan yang meningkat juga diperkirakan akan mempengaruhi pemilihan nama dengan makna yang terkait alam dan keberlanjutan. Menariknya, meskipun saat ini nama panjang sedang tren, ada kemungkinan akan muncul kecenderungan kembali ke nama-nama pendek namun dengan ejaan yang unik.
Pelanggaran terhadap aturan penamaan memiliki konsekuensi serius. Dinas Dukcapil akan menolak mencatatkan dan menerbitkan dokumen kependudukan jika nama tidak sesuai ketentuan. Petugas yang melakukan pencatatan nama yang melanggar aturan akan mendapat sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Mendagri. Perubahan nama hanya dapat dilakukan melalui penetapan pengadilan negeri, sementara pembetulan nama harus didasarkan pada dokumen autentik sesuai ketentuan perundang-undangan.
Penerapan aturan penamaan ini membawa dampak positif, antara lain: meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya nama yang baik, terciptanya tata cara penamaan yang lebih tertib dan seragam, dan mengurangi potensi diskriminasi dan kesalahan dalam administrasi kependudukan.