May 7, 2025 By Rio Baressi
7 Mei 2025 – Sebuah peristiwa unik terjadi di Kazakhstan yang mengguncang dunia hukum dan teknologi. Seorang pemuda bernama Kenzhebek Ismailov berhasil memenangkan kasus pengadilan tanpa bantuan pengacara—hanya bermodalkan kecerdasan buatan, ChatGPT. Kisah ini menjadi viral dan menimbulkan perdebatan tentang masa depan AI dalam sistem hukum.
Peristiwa ini bermula pada Desember 2023, saat Kenzhebek tengah mengantar ibunya ke rumah sakit di Almaty. Di tengah perjalanan, mobil di depannya berhenti mendadak di jalan satu arah dengan satu lajur. Karena situasi darurat, ia memutuskan untuk menyalip lewat jalur bus guna menghindari kemacetan dan menyelamatkan ibunya.
Namun, manuver tersebut terekam kamera pengawas, dan ia menerima surat tilang sebesar 5.800 tenge (sekitar Rp190.000). Kenzhebek mengajukan banding atas dasar keadaan darurat, tetapi ditolak oleh otoritas lalu lintas.
Tidak punya cukup uang untuk menyewa pengacara, Kenzhebek memutuskan menggunakan ChatGPT sebagai “pengacara virtual”-nya. Ia menjelaskan situasi kepada chatbot AI tersebut, dan ChatGPT menyarankan untuk tidak membayar denda lebih awal, serta membantunya merumuskan dokumen untuk menggugat ke pengadilan.
Saat hari persidangan tiba, Kenzhebek menggunakan fitur text-to-speech untuk membacakan jawaban yang telah dirancang oleh ChatGPT. Ia menjawab setiap pertanyaan hakim dengan bantuan AI, dan dalam waktu kurang dari 10 menit, hakim memutuskan untuk membatalkan surat tilang tersebut.
Kenzhebek menekankan bahwa perjuangannya bukan semata-mata karena nominal uang, melainkan karena prinsip. Ia mengatakan bahwa pegawai otoritas lalu lintas bertindak tidak profesional dan arogan dalam menanggapi keluhannya. “Itu adalah tugas saya sebagai warga negara,” ujar Kenzhebek dalam sebuah unggahan di media sosialnya.
Kini, ia berencana melanjutkan perjuangannya dengan mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi moral dan waktu yang terbuang.
Kemenangan Kenzhebek menciptakan gelombang diskusi di kalangan pengacara dan masyarakat luas. Sebagian pihak memuji keberanian dan kecerdasannya memanfaatkan teknologi untuk mengakses keadilan. Sementara itu, ada juga yang menyuarakan kehati-hatian, mengingat AI belum bisa menggantikan profesionalisme dan pertimbangan etis seorang pengacara.
Meski demikian, kasus ini membuktikan bahwa AI seperti ChatGPT dapat menjadi alat bantu yang kuat, bahkan dalam ranah yang kompleks seperti hukum. Para ahli menilai bahwa teknologi ini membuka akses lebih luas kepada masyarakat terhadap sistem peradilan, khususnya bagi mereka yang tidak mampu membayar jasa hukum.
Kisah Kenzhebek Ismailov bukan sekadar kemenangan seorang individu, melainkan juga simbol perubahan zaman. ChatGPT tidak hanya menjadi alat bantu belajar atau menulis, tetapi telah melangkah lebih jauh sebagai asisten hukum dalam dunia nyata. Jika digunakan secara bijak dan bertanggung jawab, AI bisa menjadi jembatan antara masyarakat dan keadilan yang lebih merata.