May 9, 2025 By Abril Geralin
09 Mei 2025 – Pada Rabu malam, 7 Mei 2025, publik dikejutkan oleh penangkapan M. Adhiya Muzakki (MAM), seorang tokoh sentral di balik skema perintangan hukum terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung). Tidak tanggung-tanggung, Adhiya disebut mengomandoi 150 buzzer yang ditugaskan untuk menyebar narasi negatif seputar tiga kasus korupsi besar yang sedang ditangani negara.
Kejaksaan Agung menyatakan bahwa MAM bukan hanya sekadar pengatur strategi digital, tetapi juga penerima aliran dana fantastis: Rp 864.500.000. Dana ini, menurut penyidik, diberikan oleh advokat Marcella Santoso (MS) untuk merusak kredibilitas Kejagung lewat opini di dunia maya.
Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Kejagung, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan bahwa MAM mengorganisir tim bernama “Cyber Army” yang dibagi menjadi lima unit operasional: Tim Mustafa 1 hingga Tim Mustafa 5. Total pasukan digital ini mencapai sekitar 150 orang buzzer.
Kelima tim ini digerakkan untuk menggempur media sosial, mulai dari TikTok, Instagram, hingga platform X (sebelumnya Twitter), dengan narasi-narasi yang mendiskreditkan Kejagung, khususnya dalam penanganan:
Penting dicatat, para buzzer ini tidak digerakkan secara sukarela. Mereka menerima bayaran rata-rata Rp 1,5 juta per orang untuk memproduksi atau menyebarkan komentar negatif yang sudah diskenariokan. Narasi tersebut tak muncul begitu saja, melainkan hasil dari penyusunan terkoordinasi oleh beberapa tokoh di balik layar, termasuk advokat Marcella Santoso dan dosen/advokat Junaedi Saibih.
Konten negatif yang dipublikasikan berasal dari naskah yang dibuat oleh para tersangka. Sementara eksekusi visual dan pemberitaan awalnya diproduksi oleh Direktur Pemberitaan JAK TV nonaktif, Tian Bahtiar, yang lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.
Skema ini tidak hanya bertujuan untuk menciptakan kebingungan informasi, melainkan juga diarahkan untuk membentuk opini publik yang menyangsikan integritas Kejaksaan. Menurut Qohar, narasi yang dibentuk menyebut bahwa metode penghitungan kerugian negara yang dilakukan ahli Kejagung dalam kasus-kasus tersebut adalah tidak valid, menyesatkan, dan merugikan hak para tersangka.
Beberapa video yang menayangkan pernyataan tersebut kemudian diunggah ke berbagai media sosial. Buzzer yang tergabung dalam “Cyber Army” lalu ditugaskan untuk memperkuat narasi dengan komentar yang mempertegas pesan-pesan negatif itu.
Dalam proses penyidikan, Kejagung menemukan bahwa Adhiya Muzakki menerima uang dalam dua kali transfer, yakni sebesar Rp 697,5 juta dan Rp 167 juta. Dana ini ditransfer oleh Marcella melalui staf keuangan Ariyanto Arnaldo Law Firm (AALF). Total: Rp 864,5 juta — yang seluruhnya digunakan untuk mendanai operasi digital yang menyudutkan aparat penegak hukum.
Dengan anggaran sebesar itu, Adhiya Muzakki mampu membentuk operasi siber yang sistematis, membayar buzzer dengan tarif tetap, dan menggulirkan kampanye opini yang dikemas seolah organik oleh netizen.
Adhiya Muzakki kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejagung selama 20 hari ke depan. Ia dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2021), serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut dikenal sebagai jerat hukum bagi siapa saja yang mencoba menghalang-halangi proses penyidikan, atau dalam istilah hukum dikenal sebagai obstruction of justice. Tindakan ini tergolong berat karena bisa menggagalkan proses hukum dan menghilangkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan beberapa nama lain sebagai tersangka:
Mereka diduga bersama-sama bersepakat untuk merancang narasi menyudutkan Kejagung guna mempengaruhi opini publik dan hasil persidangan perkara.
Kasus ini membuka diskursus baru: bahwa ruang digital kini tak sekadar menjadi sarana ekspresi publik, tapi juga bisa dipakai sebagai alat untuk mengintervensi proses hukum. Dengan biaya yang relatif besar namun tidak mustahil dicapai oleh pelaku kejahatan, pembentukan opini bisa diarahkan ke mana saja — termasuk menggagalkan proses penegakan hukum.
Kejagung mengonfirmasi bahwa para tersangka juga berupaya menghilangkan barang bukti. Salah satunya adalah ponsel milik MAM yang berisi komunikasi dengan Marcella dan Junaedi terkait produksi serta penyebaran konten negatif. Ini menjadi indikasi kuat bahwa operasi ini memang dirancang untuk menyabotase proses hukum dari balik layar.
Bagi generasi muda usia 24–35 tahun yang tumbuh di tengah ledakan informasi digital, kasus ini menjadi pengingat bahwa tidak semua yang muncul di linimasa adalah suara murni publik. Terkadang, komentar yang tampak wajar dan konten viral bisa jadi hasil rekayasa yang ditujukan untuk membentuk opini tertentu demi kepentingan tersembunyi.
Kritikal terhadap informasi menjadi keharusan. Tidak mudah terpancing pada isu tanpa verifikasi. Mendeteksi kampanye digital yang manipulatif menjadi skill baru yang harus dimiliki generasi digital masa kini.
Kasus Adhiya Muzakki dan tim buzzernya bukan sekadar soal uang dan konten. Ini adalah pertarungan antara integritas penegakan hukum dengan infiltrasi sistematis yang memanfaatkan kekuatan sosial media. Rp 864,5 juta bukan hanya bayaran untuk komentar-komentar negatif, tapi harga sebuah agenda yang ingin memutar balik arah keadilan.