January 23, 2025 By Reynaldi Aditya R.
23 Januari 2025 – Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak atas tanah yang diberikan kepada individu atau badan hukum untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas lahan yang bukan miliknya. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah HGB dapat diterbitkan untuk wilayah laut? Artikel ini membahas kasus kontroversial terkait HGB di wilayah pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang, serta dasar hukum dan tindak lanjut pemerintah.
Pada 22 Januari 2025, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, membatalkan sejumlah sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan pesisir pantai utara Kabupaten Tangerang, Banten. Sertifikat-sertifikat tersebut dinilai cacat secara prosedur dan material karena berada di luar garis pantai, yang seharusnya tidak dapat menjadi properti privat.
Hasil verifikasi menunjukkan bahwa 263 sertifikat HGB dan 17 sertifikat SHM berada di bawah laut atau di luar garis pantai. Dari jumlah tersebut, 234 bidang HGB dimiliki oleh PT Intan Agung Makmur, 20 bidang oleh PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 bidang oleh individu perseorangan. Pemerintah menetapkan bahwa penerbitan sertifikat ini batal demi hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2021.
Berdasarkan PP No. 18 Tahun 2021 dan Permen ATR Nomor 18 Tahun 2021, hak atas tanah seperti HGB hanya dapat diterbitkan di wilayah darat, termasuk garis sempadan pantai, dengan jarak minimal 100 meter dari titik surut terendah. Dengan demikian, penerbitan HGB di wilayah laut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai bahwa penerbitan sertifikat ini merupakan bentuk akrobatik hukum yang melibatkan pemecahan bidang tanah menjadi lebih kecil untuk menghindari proses persetujuan di tingkat pusat. Selain itu, ada dugaan bahwa tata ruang darat dan laut diubah oleh pemerintah daerah sehingga garis batas pantai juga berubah.
Penerbitan HGB di laut memunculkan beberapa masalah utama:
Menteri ATR Nusron Wahid telah memerintahkan investigasi terhadap pihak-pihak yang terlibat, termasuk Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB) yang melakukan pengukuran tanah. Penyelidikan juga melibatkan pemeriksaan oleh Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) terhadap petugas yang menandatangani sertifikat tersebut.
Selain itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk memverifikasi garis pantai dari tahun 1980-an hingga saat ini. Pemerintah menegaskan akan membatalkan sertifikat yang tidak sesuai dengan peraturan dan mengambil langkah hukum jika ditemukan pelanggaran.
Kasus HGB di laut Tangerang memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya transparansi dan kepatuhan hukum dalam pengelolaan tanah:
HGB tidak dapat diterbitkan di laut berdasarkan aturan yang berlaku. Kasus di Tangerang menunjukkan adanya pelanggaran serius yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan. Pemerintah perlu terus memperbaiki mekanisme pengelolaan tanah dan memastikan keadilan bagi semua pihak, terutama masyarakat kecil yang bergantung pada sumber daya alam untuk hidup mereka.
Dengan evaluasi yang menyeluruh dan tindakan hukum yang tegas, kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola agraria di Indonesia.