Leet Media

Beda Jauh! Bank Dunia Catat Sebanyak 194,6 Juta Penduduk RI Miskin, sedangkan BPS Hanya 23,8 Juta

August 1, 2025 By A G

01 Agustus 2025 – Perbedaan mencolok dalam data kemiskinan Indonesia kembali mencuri perhatian publik. Bank Dunia mencatat sebanyak 194,6 juta penduduk Indonesia atau sekitar 68 persen dari populasi masuk kategori miskin, sementara Badan Pusat Statistik (BPS) hanya mencatat 23,8 juta penduduk miskin. Gap delapan kali lipat ini bukan karena kesalahan data, melainkan perbedaan fundamental dalam metodologi dan tujuan pengukuran yang digunakan kedua lembaga.

Akar Perbedaan: Metodologi yang Bertolak Belakang

Source: Kompasiana

Standar Global vs Kebutuhan Lokal

Bank Dunia menggunakan standar global berbasis Purchasing Power Parity (PPP) yang bertujuan membandingkan kesejahteraan antarnegara. Sejak Juni 2025, lembaga tersebut memperbarui garis kemiskinan global menggunakan PPP 2021, yang secara otomatis menaikkan batas kemiskinan Indonesia dari US$6,85 menjadi US$8,30 per hari (sekitar Rp1,51 juta per bulan).

Perubahan ini terjadi karena Indonesia kini dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas (Upper Middle Income Country/UMIC), sehingga standar kemiskinannya pun dinaikkan. Dampaknya, penduduk yang dianggap ‘miskin’ melonjak drastis menjadi 194,72 juta jiwa atau 68,3% dari total populasi.

Di sisi lain, BPS tetap menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) yang lebih membumi dan sesuai konteks Indonesia. Garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 ditetapkan sebesar Rp609.160 per bulan per orang, jauh di bawah standar Bank Dunia. Metode ini mempertimbangkan konsumsi minimal yang dibutuhkan warga untuk hidup layak di Indonesia, mulai dari kebutuhan makan 2.100 kalori per hari hingga akses pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Evolusi Standar Pengukuran

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa BPS masih menggunakan PPP 2017 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 untuk menjaga kesinambungan evaluasi. Sementara Bank Dunia telah mengadopsi PPP 2021 yang mengubah tiga kategori garis kemiskinan global: kemiskinan ekstrem dari US$2,15 menjadi US$3 per hari, negara berpendapatan menengah bawah dari US$3,65 menjadi US$4,20, dan negara berpendapatan menengah atas dari US$6,85 menjadi US$8,30.

Implikasi dan Relevansi Data

Kebijakan Domestik vs Perbandingan Global

Perbedaan angka ini mencerminkan dua perspektif berbeda: “standar global yang ideal” versus “realitas lokal yang pragmatis.” Untuk kebutuhan kebijakan domestik, data BPS lebih relevan karena program bantuan sosial pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) mengandalkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang berbasis garis kemiskinan BPS.

Bank Dunia pun mengakui bahwa garis kemiskinan nasional Indonesia tetap relevan sebagai dasar kebijakan sosial domestik. Namun, untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, standar global tetap diperlukan oleh lembaga donor dan peneliti internasional.

Tren Kemiskinan Nasional yang Menggembirakan

Terlepas dari kontroversi metodologi, BPS mencatat perkembangan positif dalam pengentasan kemiskinan nasional. Pada Maret 2025, persentase penduduk miskin tercatat sebesar 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta orang, merupakan angka terendah selama dua dekade terakhir. Sejak September 2021, persentase penduduk miskin berhasil ditekan di bawah 10 persen, bahkan sejak September 2024 telah turun di bawah 9 persen.

Menariknya, terdapat dinamika berbeda antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Pada Maret 2025, tingkat kemiskinan di perkotaan naik menjadi 6,73 persen dari 6,66 persen, sementara kemiskinan di desa menurun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen.

Tantangan Struktural yang Tersembunyi

Source: CNBC Indonesia

Oligarki Ekonomi dan Ketimpangan

Data Bank Dunia yang menunjukkan 68,3% penduduk hidup di bawah standar global sebenarnya mengungkap tantangan struktural yang lebih dalam. Indonesia terjebak dalam paradoks: secara makro mengalami pertumbuhan ekonomi, namun distribusi kesejahteraan masih timpang. Kekayaan 50 orang terkaya Indonesia setara dengan milik 50 juta rakyat terbawah, menempatkan Indonesia di antara empat negara paling timpang di dunia.

Oligarki ekonomi-politik menciptakan sistem di mana segelintir elite menguasai aset vital dari tambang, perbankan, hingga media, serta mampu mengatur kebijakan untuk kepentingannya sendiri. Alih-alih memberdayakan rakyat, pemerintah terjebak pada pendekatan “bagi-bagi bantuan sosial” tanpa membongkar akar struktural kemiskinan.

Krisis Akurasi Data dan Kebijakan

Perbedaan angka kemiskinan ini juga mencerminkan kelemahan dalam perumusan kebijakan publik. Data versi pemerintah yang tampak “baik-baik saja” berisiko membuat anggaran perlindungan sosial jauh di bawah kebutuhan riil. Program bantuan sosial seperti PKH dan Sembako hanya menjangkau sebagian kecil masyarakat miskin, sementara anggaran Rp500 triliun lebih per tahun tidak memberikan dampak optimal.

Jalan ke Depan: Integrasi Data dan Reformasi Struktural

Perlunya Revisi Komprehensif

Upaya revisi garis kemiskinan oleh Dewan Ekonomi Nasional (DEN) bersama BPS menjadi urgensi mendesak. Namun, hal ini tidak cukup jika Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) masih amburadul dan data antar kementerian tidak terintegrasi. Tanpa reformasi data yang intensif, kebijakan pengentasan kemiskinan akan terus salah arah.

Menuju Ekonomi yang Berkeadilan

Indonesia perlu menentukan pilihan ideologis yang jelas: tetap terjebak dalam kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir elite, atau kembali ke ekonomi kerakyatan ala Pasal 33 UUD 1945. UMKM yang menyerap 97% tenaga kerja dan menyumbang 60% PDB adalah bukti bahwa ekonomi kerakyatan bukan sekadar utopis.

Pandemi COVID-19 telah menunjukkan betapa lemahnya ekonomi Indonesia ketika jutaan orang jatuh miskin dan sistem yang ada gagal merespons dengan cepat. Ini membuktikan bahwa ketergantungan pada bantuan sosial tanpa strategi ekonomi jangka panjang hanya menciptakan siklus kemiskinan baru.

Perbedaan data kemiskinan antara Bank Dunia (194,6 juta) dan BPS (23,8 juta) bukan sekadar persoalan teknis metodologi, melainkan cerminan tantangan struktural yang lebih kompleks. Keduanya benar dalam konteksnya masing-masing, namun Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih holistik dalam mengentaskan kemiskinan.

Tanpa reformasi data yang akurat, pembongkaran struktur oligarki ekonomi, dan komitmen pada ekonomi kerakyatan, Indonesia akan kesulitan memenuhi target SDGs maupun membangun kredibilitas di mata internasional. Yang dibutuhkan bukan hanya perbaikan angka statistik, melainkan transformasi struktural menuju ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.