December 20, 2024 By Abril Geralin
20 Desember 2024 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menegaskan komitmennya dalam memberantas korupsi dengan merilis foto lima buronan yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Langkah ini diambil untuk melibatkan publik dalam membantu menemukan dan menangkap para tersangka kasus korupsi yang telah merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Kelima buronan ini terlibat dalam kasus besar yang mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap penyelenggaraan negara. Berikut adalah profil kelima DPO tersebut beserta kasus yang menjerat mereka, disertai alasan mengapa kasus ini sangat penting untuk diselesaikan.
Harun Masiku, nama yang sudah lama menjadi sorotan publik, terlibat dalam kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. Sebagai mantan calon legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Harun diduga memberikan suap kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, untuk memuluskan jalannya menjadi anggota DPR melalui mekanisme PAW.
Kasus ini tidak hanya mencerminkan adanya praktik suap dalam lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga menunjukkan bagaimana proses demokrasi dapat disalahgunakan demi kepentingan pribadi. Meski telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2020, Harun Masiku hingga kini masih buron. Keberadaannya diduga di luar negeri, dan KPK terus mencari informasi untuk menangkapnya.
Paulus Tannos, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, merupakan buronan dalam kasus megakorupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Proyek yang seharusnya meningkatkan efisiensi administrasi kependudukan ini justru menjadi ladang korupsi yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Paulus diduga berperan aktif dalam pengaturan proyek dan aliran dana korupsi kepada sejumlah pihak. Sebelum proses hukum berjalan, Paulus melarikan diri ke luar negeri. Kasus e-KTP ini adalah salah satu kasus terbesar dalam sejarah Indonesia, mengungkapkan jaringan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara.
Kirana Kotama masuk dalam DPO KPK karena terlibat dalam kasus pengadaan kapal di PT PAL Indonesia. Ia diduga berperan dalam praktik korupsi yang menyebabkan kerugian negara dalam pengadaan kapal.
Kasus ini menggambarkan bagaimana sektor industri strategis, seperti pertahanan maritim, tidak luput dari praktik korupsi. Dengan keberadaan Kirana yang belum diketahui hingga kini, penanganan kasus ini menjadi tantangan besar bagi KPK.
Emilya Said adalah buronan dalam kasus pemalsuan surat terkait perebutan hak ahli waris di PT Aria Citra Mulia (ACM). Ia, bersama suaminya Hermansyah, diduga memalsukan dokumen untuk menguasai hak waris perusahaan tersebut.
Kasus ini menunjukkan sisi lain dari korupsi yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga melibatkan tindakan ilegal yang merugikan individu atau keluarga lain. Meskipun kasus ini terlihat lebih “personal”, dampaknya tetap besar terhadap keadilan hukum.
Hermansyah, suami dari Emilya Said, memiliki keterlibatan yang serupa dalam kasus pemalsuan surat. Bersama-sama, pasangan ini menjadi buronan KPK sejak ditetapkan sebagai tersangka. Keberadaan mereka hingga kini belum diketahui, meski KPK terus berupaya melakukan penelusuran.
Kelima kasus ini mencerminkan berbagai aspek buruk dari sistem pemerintahan dan hukum di Indonesia. Pertama, kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana penyalahgunaan wewenang terjadi dalam berbagai sektor, mulai dari lembaga pemilu, proyek pengadaan barang strategis, hingga sengketa perusahaan.
Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga negara. Kasus seperti e-KTP, misalnya, telah mencoreng nama Indonesia di mata internasional dan menunjukkan betapa sistem pengawasan internal negara belum berjalan efektif.
Kasus Harun Masiku dan Paulus Tannos juga memperlihatkan tantangan besar dalam menangkap buronan yang melarikan diri ke luar negeri. Masalah ini tidak hanya membutuhkan kerja sama antarnegara, tetapi juga menunjukkan kelemahan dalam pengawasan imigrasi dan penegakan hukum.
Proses penangkapan buronan koruptor tidaklah mudah, terutama mengingat kompleksitas hukum internasional dan tantangan operasional yang dihadapi. Berikut adalah beberapa faktor utama yang menghambat penangkapan para buronan tersebut:
KPK terus berupaya untuk menangkap para buronan ini melalui berbagai cara. Publikasi foto DPO merupakan salah satu strategi untuk melibatkan masyarakat dalam memberikan informasi yang dapat membantu menemukan keberadaan mereka. Selain itu, KPK juga bekerja sama dengan Interpol dan lembaga penegak hukum internasional untuk menangkap buronan yang diduga berada di luar negeri.
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil. Para buronan seringkali menggunakan identitas palsu, melarikan diri ke negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, atau bersembunyi di lokasi yang sulit dijangkau. Meski demikian, KPK tetap optimis bahwa dengan dukungan masyarakat, upaya ini dapat membuahkan hasil.
Korupsi adalah kejahatan yang merugikan semua pihak. Ketika uang negara disalahgunakan, dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat, seperti tertundanya pembangunan infrastruktur, buruknya pelayanan publik, dan meningkatnya kemiskinan.
Kasus e-KTP, misalnya, bukan hanya soal kerugian finansial, tetapi juga tentang bagaimana jutaan warga Indonesia mungkin kehilangan akses ke layanan publik karena sistem administrasi yang terganggu. Begitu pula dengan kasus pengadaan kapal di PT PAL, yang merugikan sektor pertahanan negara.
KPK mengimbau masyarakat untuk berperan aktif dalam pemberantasan korupsi. Dengan memberikan informasi terkait keberadaan para buronan, masyarakat dapat membantu mempercepat proses penangkapan. Selain itu, pendidikan anti-korupsi harus terus ditanamkan sejak dini untuk membangun budaya anti-korupsi yang kuat.
Melalui kerja sama yang erat antara KPK, masyarakat, dan lembaga internasional, diharapkan para buronan ini dapat segera ditangkap dan keadilan dapat ditegakkan.