May 26, 2025 By RB

26 Mei 2025 – Sengketa lahan antara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan organisasi masyarakat GRIB Jaya di Tangerang Selatan kembali mencuat ke permukaan. Perselisihan yang melibatkan klaim kepemilikan, penguasaan fisik, hingga komersialisasi aset negara ini telah menyebabkan terganggunya proyek pembangunan Gedung Arsip BMKG. Pada akhirnya, Polda Metro Jaya turun tangan dan menangkap 17 orang yang terlibat dalam penguasaan ilegal lahan negara tersebut.
Pada Sabtu, 24 Mei 2025, delapan perwakilan BMKG mendatangi lahan seluas 127.780 meter persegi di Kelurahan Pondok Betung, Tangerang Selatan, yang diklaim sebagai milik negara berdasarkan Sertifikat Hak Pakai No. 1/Pondok Betung Tahun 2003. Upaya penguasaan fisik tersebut dihadang oleh kelompok dari ormas GRIB Jaya dan sejumlah masyarakat yang mengaku sebagai ahli waris.
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, “Sebanyak 17 orang telah kami amankan, terdiri dari 11 anggota ormas GRIB Jaya dan 6 orang yang mengaku sebagai ahli waris.” Penolakan dilakukan dengan cara kekerasan dan intimidasi terhadap petugas BMKG dan alat berat ekskavator yang dikerahkan ke lokasi.
Polisi menyita berbagai barang bukti seperti surat perjanjian sewa, bukti transfer uang, bendera ormas, kendaraan, senjata tajam, hingga kupon parkir atas nama GRIB Jaya. BMKG kemudian melanjutkan penertiban bangunan ilegal dengan dukungan Satpol PP Tangerang Selatan dan pengamanan aparat kepolisian. Tindakan ini mengacu pada putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. W29.U4/1803/HT.04.04/III/2022.
Pihak BMKG menyebutkan adanya permintaan ganti rugi dari ormas GRIB Jaya sebesar Rp5 miliar sebagai syarat menarik massa mereka dari lokasi proyek. Bahkan, lahan negara tersebut disewakan kepada pedagang, dengan tarif mulai dari Rp3,5 juta untuk lapak pecel lele hingga Rp22 juta untuk pedagang hewan kurban.
“Dua korban langsung mentransfer ke anggota ormas berinisial Y, yang merupakan Ketua DPC GRIB Jaya Tangsel,” ujar Kombes Ade Ary. Praktik ini dinilai merugikan negara dan menjadi salah satu indikator kuat tindakan premanisme yang diusut oleh aparat.
Melalui kanal YouTube resmi GRIB Jaya, Ketua Tim Hukum dan Advokasi, Wilson Colling, membela aksi yang mereka lakukan. Ia menyebut, klaim atas lahan tersebut sudah terjadi sejak 1992 dan tidak pernah ada keputusan pengadilan yang memerintahkan eksekusi atau pengosongan oleh masyarakat atau ahli waris.
“Tidak ada satu pun perintah pengadilan untuk eksekusi,” kata Wilson. Ia mengaku timnya telah memverifikasi seluruh dokumen sebelum mengambil sikap mendampingi masyarakat.
BMKG menegaskan bahwa lahan yang disengketakan merupakan aset negara yang telah disertifikasi dan diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung RI No. 396 PK/Pdt/2000. Plt. Kepala Biro Hukum BMKG, Akhmad Taufan Maulana, menegaskan pentingnya pembangunan Gedung Arsip sebagai bagian dari sistem informasi kelembagaan dan layanan publik.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, menyatakan bahwa tidak ada ormas atau pihak mana pun yang dapat mengklaim kepemilikan tanah tanpa bukti kuat. “Kalau tanah itu BMN (barang milik negara), pasti tercatat di DJKN. Tidak boleh main terabas begitu saja,” tegasnya.
ATR/BPN menyatakan akan mengecek ulang warkah dan data lahan tersebut, namun menegaskan pentingnya penyelesaian sengketa tanah melalui jalur hukum, bukan penguasaan sepihak.
Kasus ini kini dalam tahap penyelidikan dengan sejumlah pasal yang diterapkan kepada para terduga pelaku, di antaranya:
Polda Metro Jaya telah menerjunkan 426 personel untuk membongkar posko GRIB Jaya di lokasi, serta menegaskan komitmen untuk memberantas premanisme.
“Negara tidak boleh kalah. Negara harus hadir,” ujar Kombes Ade Ary.
Sengketa lahan antara BMKG dan GRIB Jaya mencerminkan kompleksitas permasalahan penguasaan aset negara di tingkat lokal. Meski BMKG telah memegang sertifikat sah dan dukungan hukum, realisasi pemanfaatan aset negara tetap terhambat akibat konflik kepentingan dan praktik premanisme. Penanganan tegas dari aparat dan pemerintah menjadi langkah penting untuk memastikan supremasi hukum ditegakkan demi kepentingan publik.