Leet Media

⁠Hampir Setengah Remaja Indonesia Terpengaruh Iklan Makanan Tinggi Gula dan Lemak di Media Sosial

July 15, 2025 By pj

15 Juli 2025 – Fenomena konsumsi makanan tidak sehat di kalangan remaja Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan studi terbaru dari Fix My Food dan UNICEF Indonesia, ditemukan bahwa 43 persen remaja tergoda mengonsumsi makanan ultra-processed karena tampilan visual iklan yang menggoda di media sosial. Masalah ini menjadi sorotan karena berpotensi meningkatkan risiko obesitas dan penyakit tidak menular di masa depan.

Visual Makanan Menjadi Pemicu Konsumsi Tidak Sehat

Menurut Core Research Fix My Food, Syafa Syahrani, faktor visual seperti penampilan, aroma, dan penyajian menjadi daya tarik utama remaja dalam memilih makanan, bahkan lebih dominan dibandingkan pertimbangan gizi. “Penampilan, aroma, dan penyajian makanan sangat memengaruhi pilihan mereka. Padahal, jelas ini makanan yang bisa dibilang nilai gizi rendah tapi tinggi gula, garam, hingga lemak,” kata Syafa dalam diskusi daring, Kamis (10/7).

UNICEF Indonesia juga menyoroti masifnya iklan makanan tidak sehat di platform digital. Dari 295 iklan yang dianalisis, mayoritas mempromosikan makanan ringan, olahan, minuman manis, dan makanan cepat saji yang tinggi kalori. “Pemasaran makanan yang tidak sehat adalah pendorong utama di balik meningkatnya angka kelebihan berat badan dan obesitas,” ujar Nutrition Specialist UNICEF Indonesia, David Coloma.

Media Sosial Memperkuat Dampak Pemasaran

Indonesia memiliki 167 juta pengguna media sosial, dan kelompok usia 13–18 tahun merupakan pengguna internet paling aktif dengan penetrasi mencapai 99,1 persen. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap iklan digital. Bahkan, iklan tersebut kerap disampaikan oleh tokoh-tokoh populer seperti influencer, artis, dan atlet.

Strategi pemasaran seperti promosi “beli satu gratis satu” dan pendekatan emosional terbukti efektif membentuk loyalitas merek sejak usia dini. Namun, ironisnya, banyak anak belum bisa membedakan antara konten iklan dan informasi netral. “Dalam jangka panjang, paparan terus-menerus pada iklan makanan tidak sehat dapat mengubah preferensi makanan dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes dan hipertensi,” tegas David.

Peran Jajanan Tradisional Sebagai Alternatif Sehat

Di tengah gempuran makanan ultra-processed, jajanan tradisional masih memiliki tempat di hati anak muda. Sekitar 8 persen responden mengaku menyukai makanan tradisional seperti klepon dan rujak. “Masakan tradisional masih memiliki kekuatan. Kalau dibuat terlihat, terjangkau, dan membanggakan, makanan tradisional bisa jadi bagian dari solusi untuk mendorong konsumsi makanan yang lebih sehat,” kata Syafa.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi juga menekankan potensi makanan tradisional sebagai solusi. “Traditional food bisa jadi solusi. Dia, kan, dari real food. Kita di Indonesia ini kaya akan makanan tradisional yang sehat dan murah,” jelasnya. Menurutnya, sistem pangan yang adil dan regulasi kuat diperlukan agar anak-anak bisa memilih makanan sehat secara sadar.

Obesitas Anak di Indonesia Meningkat Akibat Pola Konsumsi Buruk

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan 19,7 persen anak usia 5–12 tahun mengalami obesitas, sedangkan pada kelompok usia 13–18 tahun angkanya mencapai 14,3 persen. Konsumsi harian minuman berpemanis menjadi salah satu penyebab tingginya angka tersebut. “Produk yang diiklankan kepada anak-anak sebagian besar tidak sehat tinggi kalori, lemak, gula dan garam yang jika dikonsumsi secara berlebihan dapat menyebabkan kelebihan berat badan atau obesitas,” kata David.

Rekomendasi UNICEF dan Novo Nordisk untuk Perlindungan Anak

UNICEF bersama Novo Nordisk memberikan tiga rekomendasi utama. Pertama, memperkuat regulasi pemasaran digital makanan tidak sehat. Kedua, mengembangkan model profil gizi nasional untuk klasifikasi produk yang layak dipasarkan kepada anak. Ketiga, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pemasaran makanan tidak sehat.

Sejak 2019, kerja sama ini juga telah menjangkau jutaan orang melalui advokasi strategis, serta mendorong kebijakan pangan yang mendukung lingkungan sehat bagi anak-anak, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara seperti Meksiko, Malaysia, dan Kosta Rika.