Flores, Nusa Tenggara Timur – Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menunjukkan taringnya. Letusan dahsyat yang dimulai pada awal November 2024 tidak hanya mengancam keselamatan warga sekitar, tetapi juga melumpuhkan aktivitas penerbangan di wilayah Nusa Tenggara dan Bali.
Kronologi Letusan
Aktivitas vulkanik Gunung Lewotobi mulai meningkat sejak 1 November 2024, ditandai dengan peningkatan status dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga). Puncaknya terjadi pada 4 November 2024 dini hari, di mana gunung api ini meletus sebanyak tiga kali, memuntahkan abu vulkanik setinggi 2 km dari puncak. Letusan ini memaksa 2.472 warga untuk mengungsi, dibantu oleh prajurit TNI AL.
Selama periode 5 hingga 12 November 2024, erupsi masih terus berlangsung dengan intensitas yang fluktuatif. Ketinggian kolom abu vulkanik bervariasi, bahkan mencapai 2.000 meter. Pada 13 November 2024, erupsi masih berlangsung dengan kolom abu mencapai 1.500 meter di atas puncak. Meskipun intensitas erupsi menurun pada 14 November 2024, status gunung api ini tetap berada di Level III (Siaga).
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Pada 15 November 2024 pukul 08.26 WITA, Gunung Lewotobi kembali meletus dengan amplitudo 37 mm dan durasi selama 9 menit 58 detik. Letusan ini menghasilkan kolom abu yang menjulang sekitar 2,5 km di atas puncak, mendorong status gunung api menjadi Level IV (Awas).
Dampak yang Meluas
Erupsi Gunung Lewotobi tidak hanya berdampak pada warga di sekitar gunung, tetapi juga mengganggu aktivitas penerbangan di wilayah Nusa Tenggara dan Bali. Pada 13 November 2024, debu vulkanik telah mencapai Lombok, memaksa pembatalan 39 penerbangan dari dan menuju Lombok. Abu vulkanik ini terdeteksi pada ketinggian 30.000 kaki (sekitar 9.144 meter) di atas permukaan laut dan terus bergerak ke arah barat dengan kecepatan 18 knot.
Kondisi semakin memburuk pada 14 November 2024, di mana 52 penerbangan di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali terpaksa dibatalkan. Tiupan angin barat hingga barat daya membawa abu vulkanik dari Gunung Lewotobi menuju Bali dan Lombok, mengancam keselamatan penerbangan.
Evakuasi dan Penanganan Bencana
Erupsi Gunung Lewotobi mengakibatkan evakuasi massal penduduk di sekitar lereng gunung. Pemerintah, bersama dengan TNI, Polri, dan relawan, segera melakukan operasi evakuasi untuk memindahkan warga ke tempat yang lebih aman. Hingga 14 November 2024 pukul 08.00 WITA, sebanyak 119 kapal telah dikerahkan untuk mengangkut 4.387 penduduk yang terdampak. Sementara itu, di darat, truk dan ambulans mengangkut warga menuju delapan titik pengungsian yang telah ditentukan. Jumlah pengungsi terus meningkat, mencapai 11.553 orang, sehingga zona bahaya diperluas menjadi radius 9 km dari puncak gunung. Pemerintah dan berbagai lembaga terkait berupaya mendistribusikan bantuan berupa makanan, air bersih, dan perlengkapan medis kepada para pengungsi.
Indonesia: Negeri di Cincin Api
Erupsi Gunung Lewotobi menjadi pengingat yang nyata bahwa Indonesia merupakan bagian dari Cincin Api Pasifik, zona yang ditandai dengan deretan gunung berapi aktif dan seringnya terjadi gempa bumi. Negeri kepulauan ini membentang di sepanjang jalur pertemuan lempeng tektonik, menjadikan Indonesia rawan terhadap letusan gunung berapi dan gempa bumi. Saat Gunung Lewotobi memuntahkan abu dan lava, beberapa gunung berapi lain di Indonesia berada dalam status siaga. Kondisi ini menuntut kewaspadaan dan kesiapsiagaan dari pemerintah dan masyarakat, mengingat potensi ancaman letusan gunung berapi yang dapat terjadi sewaktu-waktu, antara lain:
- Gunung Awu, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara
- Gunung Ibu, Pulau Halmahera, Maluku
- Gunung Iya, Kabupaten Ende, NTT
- Gunung Merapi, Kabupaten Tanah Datar dan Agam, Sumatera Barat
- Gunung Merapi, DI Yogyakarta
Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana
Letusan Gunung Lewotobi yang menggemparkan memberikan pelajaran berharga akan urgensi kesiapsiagaan dan mitigasi bencana gunung berapi di Indonesia. Pemantauan aktivitas vulkanik secara intensif dan berkelanjutan merupakan fondasi utama dalam upaya mitigasi. Data yang diperoleh dari pos pengamatan dan berbagai instrumen pemantauan memungkinkan para ahli untuk memprediksi potensi erupsi dan memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Pemetaan kawasan rawan bencana yang akurat juga sangat krusial, memberikan informasi mengenai zona-zona yang berpotensi terdampak erupsi dan memudahkan perencanaan evakuasi. Penyusunan rencana evakuasi yang komprehensif, termasuk identifikasi jalur evakuasi, titik kumpul, dan penyediaan fasilitas pengungsian, merupakan langkah penting untuk meminimalisir korban jiwa dan kerugian material. Edukasi kepada masyarakat mengenai karakteristik gunung berapi, tanda-tanda erupsi, dan prosedur evakuasi juga sangat vital dalam meningkatkan kesiapsiagaan dan kemandirian masyarakat dalam menghadapi bencana.
Pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat harus bersinergi dan berkolaborasi untuk memperkuat sistem mitigasi bencana gunung berapi. Kolaborasi ini meliputi peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pengembangan teknologi pemantauan, dan peningkatan infrastruktur pendukung mitigasi. Hanya dengan kesiapsiagaan yang baik dan terencana, dampak negatif dari letusan gunung berapi dapat diminimalisir, memungkinkan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan alam yang dinamis ini. (AMP/JS)