May 10, 2025 By RB
10 Mei 2025 – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menghapus acara perpisahan sekolah dan study tour memicu perdebatan sengit di kalangan generasi Z. Kebijakan ini muncul sebagai respons atas keluhan beban finansial yang harus ditanggung orang tua siswa, namun di sisi lain dianggap merampas momen penting dalam perjalanan pendidikan siswa.
Insiden ini bermula ketika seorang siswi dari bantaran kali Bekasi yang sedang menghadapi penggusuran membuat video TikTok menyentil kebijakan Gubernur. Dalam video viral tersebut, siswi tersebut dengan lantang menyatakan kekecewaannya atas penghapusan wisuda perpisahan yang ia anggap sebagai momen sakral dalam kehidupan pelajar. Tanggapan Gubernur tidak lama datang, dengan mengundang siswi tersebut dalam forum diskusi terbuka.
Dalam diskusi yang panas tersebut, terlihat jelas dua perspektif yang bertolak belakang. Di satu sisi, Gubernur bersikukuh bahwa kebijakan ini dibuat untuk melindungi orang tua dari beban biaya yang tidak perlu. Sementara siswi tersebut dengan emosional mempertahankan pandangan bahwa perpisahan sekolah adalah bagian dari hak pendidikan yang tidak boleh dihilangkan begitu saja.
Para pendukung kebijakan Gubernur Mulyadi menekankan aspek keadilan sosial dalam keputusan ini. Mereka mengungkapkan fakta bahwa banyak keluarga di Jawa Barat yang kesulitan secara ekonomi, terutama di masa pasca pandemi. Acara perpisahan yang cenderung glamor dan membutuhkan biaya besar dianggap sebagai beban yang tidak perlu.
Beberapa pengamat pendidikan juga menyoroti fenomena kompetisi tidak sehat antar sekolah dan orang tua dalam menyelenggarakan acara perpisahan. Semakin mewah acara, semakin besar prestise yang didapat, namun semakin berat pula beban bagi keluarga kurang mampu. Kebijakan ini diharapkan dapat mengembalikan fokus pendidikan pada substansi pembelajaran, bukan pada seremoni.
Di sisi lain, para penentang kebijakan yang didominasi generasi Z menyuarakan pentingnya perpisahan sebagai bagian dari pengalaman pendidikan holistik. Mereka berargumen bahwa momen perpisahan bukan sekadar acara seremonial, tetapi bagian dari pembentukan memori kolektif dan ikatan sosial antar siswa.
Psikolog perkembangan remaja menjelaskan bahwa acara perpisahan berperan penting dalam proses transisi dari satu fase pendidikan ke fase berikutnya. Ritual perpisahan membantu remaja secara psikologis untuk menutup satu bab dan mempersiapkan diri membuka bab baru dalam hidup mereka. Tanpa proses ini, banyak remaja merasa kehilangan closure penting dalam perjalanan pendidikannya.
Beberapa pihak menawarkan jalan tengah dalam kontroversi ini. Daripada menghapus sama sekali, banyak yang mengusulkan penyederhanaan acara perpisahan. Konsep seperti potluck party dimana setiap siswa membawa makanan, pertunjukan bakat siswa, atau pertukaran kenang-kenangan sederhana bisa menjadi alternatif yang tidak membebani namun tetap bermakna.
Beberapa sekolah mulai menerapkan model hybrid, dengan mengadakan acara virtual yang dikombinasikan dengan pertemuan terbatas di sekolah. Pendekatan ini dinilai mampu mengurangi biaya secara signifikan sambil tetap mempertahankan esensi perpisahan sebagai momen kebersamaan.
Keputusan ini ternyata membawa dampak lebih luas dari yang diperkirakan. Survei cepat di kalangan siswa menunjukkan bahwa 65% responden merasa kehilangan motivasi belajar ketika tahu tidak akan ada acara perpisahan di akhir tahun. Banyak yang mengaku merasa perjuangan mereka selama bertahun-tahun di sekolah seolah tidak dihargai.
Di sisi lain, beberapa orang tua menyambut baik kebijakan ini. Mereka mengaku lega tidak perlu lagi memikirkan biaya gaun wisuda, sewa gedung, atau hadiah untuk guru yang selama ini memberatkan keuangan keluarga. Beberapa bahkan mengusulkan agar dana yang biasanya digunakan untuk acara seremonial dialihkan untuk beasiswa atau perbaikan fasilitas sekolah.
Generasi Z melalui berbagai platform media sosial menyampaikan pandangan unik mereka tentang isu ini. Bagi mereka, acara perpisahan bukan sekadar tradisi, tetapi bagian dari budaya sekolah yang membentuk identitas generasi. Banyak kreator konten yang membuat video nostalgia tentang kenangan perpisahan sekolah mereka, sekaligus menyayangkan hilangnya kesempatan ini bagi adik-adik kelas.
Namun cukup menarik, ada juga suara-suara dari generasi Z yang mendukung kebijakan ini. Mereka menganggap generasi mereka harus mulai memikirkan kembali tradisi-tradisi yang tidak esensial dan lebih fokus pada isu-isu substantif dalam pendidikan. Bagi mereka, uang yang biasanya digunakan untuk acara perpisahan bisa dialokasikan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Kontroversi ini membuka diskusi lebih luas tentang relevansi berbagai tradisi sekolah di era modern. Pakar pendidikan memprediksi bahwa kita akan melihat lebih banyak perubahan dalam budaya sekolah seiring dengan perubahan nilai-nilai masyarakat. Yang penting, kata mereka, adalah memastikan bahwa setiap perubahan kebijakan dilakukan dengan mempertimbangkan masukan dari semua pemangku kepentingan, terutama siswa sebagai subjek pendidikan.
Kebijakan Gubernur Jawa Barat ini mungkin hanya awal dari transformasi besar dalam sistem pendidikan kita. Yang pasti, perdebatan ini menunjukkan bahwa generasi Z tidak lagi bisa dipandang sebagai penerima pasif kebijakan, tetapi sebagai mitra kritis yang berhak menyuarakan pendapat mereka tentang masa depan pendidikan.
Related Tags & Categories :