November 22, 2025 By RB

22 November 2025 – Fenomena quiet covering kini menjadi salah satu isu besar dalam dinamika dunia kerja modern, terutama di kalangan Generasi Z. Setelah tren quiet quitting yang sempat mencuat, quiet covering muncul sebagai gejala baru yang menggambarkan bagaimana karyawan—khususnya Gen Z—menyembunyikan sisi pribadi demi dinilai profesional, menghindari stereotip, serta memperoleh kemudahan dalam jalur karier.
Quiet covering merujuk pada kecenderungan karyawan untuk menutupi aspek pribadi agar terhindar dari penghakiman, stereotip, hingga diskriminasi. Survei Attensi terhadap 2.000 karyawan menunjukkan fenomena ini sebagai “krisis tersembunyi” di tempat kerja, dengan 58 persen responden mengaku melakukan skill masking atau menyembunyikan kekurangan kompetensi demi menghindari penilaian.
Beberapa temuan penting dari survei meliputi:
Fenomena covering pertama kali dicetuskan oleh Profesor Kenji Yoshino sebagai praktik menyembunyikan identitas pribadi—seperti ras, gender, orientasi seksual, usia, agama, hingga disabilitas—untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan profesional.
Penelitian Hu-X x Hi-Bob menunjukkan bahwa 97 persen karyawan melakukan covering setidaknya beberapa kali, dan 67 persen melakukannya secara sering. Alasan utamanya meliputi menjaga citra profesional, menghindari diskriminasi, mendapatkan promosi, hingga meningkatkan penilaian kinerja tahunan.
Menariknya, covering paling sering dilakukan kepada atasan senior atau manajer langsung.
Gen Z tercatat sebagai generasi yang paling sering melakukan quiet covering. Mereka dua kali lebih mungkin dibandingkan generasi boomer untuk menyembunyikan sebagian identitas diri. Bahkan 56 persen mengaku melakukannya saat berhadapan dengan HR dalam proses rekrutmen.
Banyak Gen Z menyembunyikan isu kesehatan mental, kebiasaan merawat diri, atau pengalaman masa lalu demi memproyeksikan citra profesional yang kuat. Tia Katz, pendiri Hu-X, menjelaskan bahwa respons nonverbal Gen Z sering disalahartikan sebagai ketidakpedulian, padahal itu adalah bentuk perlindungan diri.
Katz menyatakan:
“Tatapan Gen Z mungkin tenang, tetapi tidak pasif. Apa yang tampak seperti ketidakpedulian seringkali merupakan bentuk perlindungan diri yang aktif dan terukur. Itu adalah batasan nonverbal yang mereka adaptasi untuk menghadapi tempat kerja yang dibentuk oleh budaya yang selalu aktif, di mana kepercayaan diri (bukan kompetensi), ketersediaan emosional, dan antusiasme yang terlihat terhadap budaya perusahaan diperlakukan sebagai metrik kinerja.”
Bagi Gen Z, menjaga citra profesional menjadi motivasi utama. Namun, Katz menegaskan bahwa dampaknya justru menguras kinerja, mengikis kepercayaan diri, serta mengalihkan energi dari kreativitas dan keterlibatan kerja.
Studi Hu-X x Hi-Bob menemukan tujuh dampak besar quiet covering:
Selain menutupi identitas pribadi, banyak Gen Z juga melakukan quiet covering dalam bentuk lain, yakni penggunaan AI secara diam-diam untuk mempercepat pekerjaan—mulai dari merangkum catatan rapat, membuat kode, hingga brainstorming ide.
Sebanyak 47 persen Gen Z dan Milenial khawatir AI akan menggantikan pekerjaan mereka, dan 30 persen tidak mengetahui kebijakan AI di tempat kerja. Hal ini membuat mereka memilih untuk tidak terbuka tentang penggunaan AI.
Kedua studi yang dikutip menunjukkan generasi muda sering menutupi hampir semua aspek identitas mereka karena tekanan untuk menyesuaikan diri, mendapatkan penerimaan, dan meningkatkan peluang karier.
Katz menegaskan bahwa ketika keaslian dianggap sebagai beban, perusahaan kehilangan kreativitas, produktivitas, dan inovasi. Ia menjelaskan:
“Ketika keaslian dianggap sebagai beban, perusahaan kehilangan kreativitas, produktivitas, dan inovasi. Hal ini juga meningkatkan stres dan menurunkan keterlibatan dengan cara-cara yang seringkali tidak terlihat hingga memengaruhi retensi dan kinerja.”
Katz menganjurkan agar perusahaan memandang quiet covering sebagai respons adaptif terhadap lingkungan kerja, bukan pemberontakan. Menurutnya:
“Mereka ingin dilihat dan dihargai apa adanya atas kontribusi unik yang mereka berikan, alih-alih seberapa cocok mereka dengan suatu standar.”
Quiet covering bukan sekadar tren sementara, melainkan refleksi dari tekanan sistemik di dunia kerja modern. Meski dilakukan untuk menjaga profesionalisme, praktik ini berpotensi mengganggu kesejahteraan emosional, menghambat kreativitas, dan berdampak negatif pada kinerja karyawan—khususnya Gen Z. Lingkungan kerja yang mendorong keaslian dan penerimaan menjadi kunci agar generasi muda dapat berkembang tanpa harus menyembunyikan jati diri mereka.
Related Tags & Categories :