Pernah dengar istilah “Doom Spending”? Sederhananya, ini adalah kebiasaan belanja impulsif untuk menghilangkan stres, padahal kondisi ekonomi sedang tidak menentu. Bayangkan, di tengah ketidakpastian ekonomi, kamu malah kalap belanja, seolah dunia akan kiamat besok.
Fitur “Buy Now, Pay Later” (BNPL) yang makin menjamur juga makin memperparah kondisi ini. Kemudahan membeli barang sekarang dan membayarnya nanti membuat godaan untuk belanja semakin besar. Alhasil, banyak orang, terutama generasi milenial dan Gen Z, terjebak dalam lingkaran setan doom spending. Mereka menghabiskan uang untuk kesenangan jangka pendek tanpa memikirkan kondisi keuangan di masa depan.
Fenomena ini sering dikaitkan dengan istilah populer “self-reward”. Memang, menghadiahi diri sendiri boleh-boleh saja, tapi kalau keseringan dan kebablasan, ya sama saja bohong. Sebuah studi bahkan menemukan bahwa 43% generasi milenial dan 35% Gen Z berbelanja hanya untuk memperbaiki suasana hati.
Salah satu faktor pendorong doom spending adalah rasa takut ketinggalan atau Fear of Missing Out (FOMO). Media sosial yang dipenuhi konten lifestyle membuat banyak orang merasa harus mengikuti tren dan memiliki barang-barang terbaru agar tidak dianggap ketinggalan zaman.
Di tengah situasi yang tidak menentu, belanja seolah menjadi pelarian untuk melupakan masalah dan mencari kesenangan sesaat. Sayangnya, kebahagiaan ini semu dan bisa berujung pada masalah keuangan yang lebih serius di kemudian hari.
Jadi, sebelum terjebak dalam doom spending, ada baiknya kita berhenti sejenak dan berpikir: Apakah barang ini benar-benar dibutuhkan? Apakah pembelian ini akan mengganggu kondisi keuangan di masa depan? Ingat, kebahagiaan sejati tidak datang dari tumpukan barang, melainkan dari keseimbangan finansial dan mental yang sehat. (AMP/JS)