July 30, 2025 By RB
30 Juli 2025 – Rencana pemindahan massal warga Palestina dari Gaza kembali menjadi sorotan internasional. Kali ini, Israel disebut-sebut meminta dukungan Amerika Serikat untuk membujuk beberapa negara, termasuk Indonesia, agar bersedia menampung pengungsi dari wilayah konflik tersebut. Langkah ini memicu kritik tajam dari berbagai pihak dan menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran hukum internasional.
Kepala badan intelijen Israel, Mossad, David Barnea, dilaporkan mengunjungi Washington pada pekan ini. Dalam kunjungannya, ia bertemu dengan Steve Witkoff, utusan khusus Presiden AS Donald Trump. Axios, media asal AS yang pertama kali membocorkan informasi ini pada 18 Juli 2025, mengutip dua sumber yang mengetahui langsung isi pertemuan tersebut.
Dalam pembicaraan itu, Barnea mengungkap bahwa Israel telah menjalin komunikasi awal dengan beberapa negara, yakni Indonesia, Ethiopia, dan Libya, untuk membahas kemungkinan mereka menerima warga Palestina dari Gaza. Ia juga menyarankan agar pemerintah AS menawarkan insentif kepada negara-negara yang bersedia menerima pengungsi Gaza. Namun menurut sumber Axios, “Witkoff belum memberikan komitmen”, menandakan AS masih berhati-hati dalam menanggapi usulan sensitif tersebut.
Rencana relokasi warga Gaza sebenarnya bukan hal baru. Pada Februari lalu, Presiden AS Donald Trump pernah mengusulkan agar seluruh penduduk Gaza—sekitar dua juta jiwa—dipindahkan ke luar wilayah sembari menata ulang Jalur Gaza. Namun usulan ini segera ditinggalkan setelah mendapat penolakan keras dari negara-negara Arab dan komunitas internasional.
Kendati demikian, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tetap mendukung penuh gagasan ini. Ia bahkan secara aktif menugaskan Mossad untuk mencari negara-negara yang mau menampung warga Gaza. Dalam pernyataan publiknya, Netanyahu menyebut bahwa Israel “bekerja sangat erat dengan AS” dan bahkan “hampir mencapai kesepakatan dengan beberapa negara” terkait relokasi ini.
Indonesia menjadi salah satu negara yang disebut-sebut oleh Mossad sebagai pihak yang “terbuka” terhadap kemungkinan menerima pengungsi Gaza. Namun, klaim ini langsung menimbulkan kekhawatiran.
Sebagai negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan dikenal sebagai salah satu pendukung utama kemerdekaan Palestina, keterlibatan Indonesia dalam rencana ini dapat menimbulkan kontroversi besar di dalam negeri. Banyak pihak menilai bahwa secara politik dan hukum, hal ini sangat sulit diwujudkan.
Menurut pengamat Timur Tengah, “Rencana ini akan sangat sulit diimplementasikan dan berpotensi memicu reaksi keras dari masyarakat internasional.” Selain itu, para pakar hukum internasional memperingatkan bahwa relokasi paksa—meskipun diberi label “sukarela”—dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum humaniter internasional.
Sejumlah pihak menuding bahwa rencana relokasi ini menyerupai bentuk pembersihan etnis terselubung. Di tengah situasi kemanusiaan yang sudah sangat genting di Gaza, rencana ini dinilai akan semakin memperparah penderitaan rakyat Palestina.
Namun, Netanyahu tetap membela gagasan tersebut. Ia berdalih bahwa relokasi warga Gaza merupakan bentuk dari “pilihan bebas”, bukan paksaan. “Jika mereka ingin tinggal, mereka bisa tinggal. Tapi kalau ingin pergi, mereka seharusnya bisa pergi. Itu (Gaza) bukan penjara,” ujarnya, sambil memuji gagasan Trump sebagai sebuah “visi brilian”.
Wacana relokasi massal warga Gaza ke negara ketiga menjadi isu geopolitik yang sensitif dan kompleks. Selain mengancam stabilitas regional, rencana ini juga berisiko melanggar norma hukum internasional. Dengan menyebut Indonesia sebagai salah satu tujuan, Israel tidak hanya menimbulkan polemik global, tetapi juga menempatkan Indonesia dalam dilema diplomatik yang serius.
Related Tags & Categories :