Leet Media

Sekolah Rakyat Ambil Alih Gedung SLB, 110 Siswa Disabilitas Terancam Tak Punya Kelas

July 23, 2025 By RB

Kompas.id

23 Juli 2025 – SLB Negeri A Pajajaran di Bandung tengah menghadapi krisis ruang belajar yang mengancam kenyamanan dan hak pendidikan anak-anak penyandang disabilitas. Penyempitan ruang akibat peralihan fungsi gedung untuk Sekolah Rakyat membuat sekolah harus menggabungkan dua rombel dalam satu kelas. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran dari guru, orang tua, hingga pengamat pendidikan.

Ruang Kelas Berkurang Saat Jumlah Siswa Meningkat

Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) A Pajajaran sebelumnya memiliki empat gedung ruang belajar. Namun sejak salah satu gedungnya dialihfungsikan untuk Sekolah Rakyat, hanya tersisa tiga gedung—yakni gedung E, B, dan C—yang dapat digunakan. “Awalnya kita memiliki empat gedung ruangan yang digunakan untuk sekolah. Setelah ada Sekolah Rakyat, kita memiliki tiga gedung. Alhasil, kita akan optimalkan ruangan kelas yang ada di gedung B dengan C,” ujar Rian Ahmad, guru SLBN A Bandung, saat ditemui di sela kegiatan MPLS.

Padahal, tahun ajaran ini jumlah peserta didik meningkat menjadi 110 siswa, naik sekitar 10 orang dari tahun sebelumnya. Mereka terbagi dalam 47 rombongan belajar dari tingkat TK hingga SMA. Hal ini memaksa sekolah menggabungkan dua rombel dalam satu kelas meskipun kapasitas ruang sangat terbatas.

Dampak pada Konsentrasi Belajar dan Kenyamanan Anak Disabilitas

Dengan keterbatasan ruang, idealnya satu rombel berisi 4 siswa, terutama karena mayoritas peserta didik memiliki hambatan penglihatan dan beberapa mengalami autisme. Namun saat ini, satu kelas terpaksa diisi oleh 8 siswa. Situasi ini sangat berpengaruh pada efektivitas belajar.

Rian menambahkan bahwa kenyamanan dan konsentrasi belajar siswa kini terganggu, terutama karena gangguan suara sangat memengaruhi mereka yang mengandalkan pendengaran sebagai sumber informasi utama. “Pendengaran menjadi sumber informasi utama yang sangat penting, tentunya gangguan suara atau kebisingan dalam satu ruangan mengganggu proses belajar para mereka,” ujarnya.

Kekhawatiran Orang Tua dan Ancaman Penggusuran

Ketua Komite Orangtua SLBN A Pajajaran, Dadang Ginanjar, menyampaikan bahwa orang tua merasa gelisah bukan karena kurikulum atau pengajaran, melainkan karena ketidakpastian status lahan sekolah. “Orang tua terus dibayangi ancaman penggusuran,” ucapnya.

Situasi ini semakin kompleks karena persoalan administrasi antar instansi pemerintah. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai ini sebagai bentuk ego sektoral yang merugikan anak-anak disabilitas. “Yang dipikirkan seharusnya adalah bagaimana nasib anak-anak disabilitas kalau tempat belajarnya digusur atau hilang,” tegas Ubaid.

Ia menekankan bahwa pemerintah harus mengesampingkan konflik birokrasi demi menjamin hak pendidikan inklusif. “Urusan administrasi itu hanya soal tanda tangan, nama, stempel. Kalau sudah dimanfaatkan untuk pendidikan inklusif, ya tinggal sahkan saja. Jangan tarik-tarik masyarakat dalam konflik birokrasi,” lanjutnya.

Tanggapan Kementerian Sosial dan Dampak Pembangunan Sekolah Rakyat

Pengurangan ruang belajar ini disebut sebagai imbas dari pembangunan Sekolah Rakyat yang sementara ini menempati gedung SLBN A Pajajaran. Wakil Menteri Sosial, Agus Jabo Priyono, menyatakan, “Dalam proses pembangunan itu, untuk sementara mereka kita tempatkan di luar sentra dulu.”

Namun bagi para guru di lapangan, dampaknya sangat terasa. “Dampaknya dengan kondisi kelas yang kurang, sangat tidak kondusif,” kata guru Wenni Herawati.

Pemerintah Didesak Prioritaskan Hak Anak Disabilitas

Kasus SLBN A Pajajaran menjadi cermin nyata lemahnya perlindungan hak pendidikan bagi anak-anak disabilitas. Ketika birokrasi dan konflik administratif dibiarkan berlarut, justru peserta didik yang menjadi korban. Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah tegas untuk menjamin ruang belajar yang aman, nyaman, dan memadai bagi seluruh anak, tanpa kecuali.

Related Tags & Categories :

highlight