July 15, 2025 By RB
15 Juli 2025 – Festival musik bertajuk “Ruang Bermusik 2025” yang dijadwalkan berlangsung di Lanud Wiriadinata, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 19–20 Juli 2025, menjadi kontroversial setelah sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam menolak penampilan musisi Hindia. Tuduhan bahwa Hindia membawa simbol dan pesan yang bertentangan dengan syariat Islam memicu gelombang protes, baik secara langsung maupun di media sosial.
Penolakan dipimpin oleh ormas Al Mumtaz bersama sejumlah organisasi Islam lain seperti MUI, Muhammadiyah, Persis, FPI, dan DMI. Ketua Al Mumtaz, Hilmi Afwan, menyampaikan bahwa band Hindia dituding membawa simbol-simbol seperti Dajjal, Baphomet, dan lambang-lambang atheis yang dikaitkan dengan satanisme.
“Yang dipermasalahkan musik Hindia ada indikasi satanic yang memang melanggar norma syariat terutamanya pemahaman simbol dajal, baphomet dan lambang atheis dengan jargon freemason. Konser musik Hindia harus dibatalkan dan tujuannya untuk menyelamatkan aqidah generasi muda dari pengaruh musik Hindia sinyalir liriknya membawa penonton ke dalam neraka,” kata Hilmi Afwan pada Minggu, 13 Juli 2025.
Ia juga menyoroti lirik lagu Hindia yang dinilai menyimpang, seperti kutipan: “Ku doakan kita semua masuk neraka, panjang umur, matahari tenggelam dan Selamat datang malam.” Narasi gelap dan sarkastik seperti ini, menurut Hilmi, tidak selaras dengan marwah Kota Tasikmalaya sebagai Kota Santri.
Aksi protes ormas tidak hanya dilakukan di dunia maya. Mereka juga mendatangi Mapolres Tasikmalaya untuk menyampaikan penolakan secara resmi. Dalam sebuah video yang beredar luas, seorang pria berpeci putih menyampaikan langsung kekhawatirannya terhadap simbol yang digunakan Hindia dalam konsernya, merujuk pada patung bergaya Baphomet yang sempat viral saat konser Hindia di TikTok tahun 2023.
“Anda tidak menempuh perizinan. Itu salah besar. Maka bagi saya, kalau boleh berpendapat, lebih baik dibatalkan,” ucap pria tersebut saat audiensi.
Ia juga mempertanyakan keamanan acara, termasuk potensi peredaran miras dan kericuhan saat konser berlangsung. “45 menit Anda jamin bersih dari miras? Yang mabuk-mabukan? Anda jamin nggak? Urusan ribut, urusan mabuk, kan bukan Anda yang capek, pak Kapolres,” tegasnya.
Wakil Wali Kota Tasikmalaya, Raden Diky Chandranegara, menanggapi polemik ini dengan hati-hati. Ia menyatakan bahwa semua harus kembali kepada aturan dan kesepakatan yang berlaku.
“Saya tidak mau berbicara kepentingan pribadi dan segala sesuatu bicara sesuai aturan yang ada. Akan tetapi, saya yakin teman dari EO tidak ada maksud buruk sama sekali, mungkin berpikir sebelumnya sudah pernah, kaya kejadian di Aceh, kemungkinan menjadi pemicu utamanya,” jelas Diky.
Pihak event organizer juga mengaku telah menjalankan prosedur sesuai kesepakatan yang ditetapkan setelah insiden konser sebelumnya.
Isu ini pun memantik respons luas dari warganet. Beberapa menyayangkan penolakan ini, menganggapnya sebagai bentuk konservatisme berlebihan.
“Padahal kalau mau masuk venue ada proses pemeriksaan barang yang dibawa, bawa minuman dan makanan dari luar/parfum aja gak boleh, gimana ceritanya mau mabok,” tulis akun @nicca***.
“Makanya pak jangan main TikTok, lihat patung dikit di atas panggung dikira Illuminati,” sindir akun @diebwan***.
Sementara itu, Baskara Putra alias Hindia telah memberi klarifikasi. Ia menegaskan bahwa simbol dan visual panggungnya adalah bagian dari estetika konser dan tidak dimaksudkan sebagai penyebaran ideologi.
“Saya tidak ada niatan untuk menghasut, mengajak, atau menyebarkan ajaran tertentu, lebih-lebih aliran ‘satanis’. Karena semuanya merupakan konsep dan satu kesatuan estetika dari album dan konser LHAB,” kata Hindia dalam pernyataannya.
Selain Hindia, beberapa musisi lain yang dijadwalkan tampil di Ruang Bermusik 2025 antara lain Nadin Amizah, Maliq & D’Essentials, Whisnu Santika, Lomba Sihir, Adnan Veron x HBRP, .Feast, dan Perunggu.
Meski penolakan berpusat pada Hindia, sejumlah nama lain seperti .Feast dan Lomba Sihir juga ikut diseret karena dianggap memiliki keterkaitan dengan Hindia. Bahkan, kata “Lomba Sihir” dianggap sebagian pihak mengandung unsur negatif.
Hingga kini, belum ada kepastian apakah konser akan tetap digelar sesuai jadwal atau dibatalkan. Polemik antara kebebasan berekspresi dan norma masyarakat lokal masih terus menjadi perdebatan di ruang publik.
Related Tags & Categories :