Leet Media

Dinilai lambat saat evakuasi, Basarnas Blak-Blakan ke DPR: Anggaran minim Hambat Operasi SAR & Perawatan Alat Deteksi Dini

July 10, 2025 By A G

10 Juli 2025 – Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) kembali menjadi sorotan publik setelah Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, mengungkapkan kondisi memprihatinkan lembaga SAR nasional di hadapan Komisi V DPR pada Senin (7/7/2025). Dalam paparannya, Syafii tidak hanya membahas kinerja operasional, tetapi juga mengungkap masalah mendasar yang selama ini menghambat efektivitas Basarnas: keterbatasan anggaran yang sangat signifikan.

Krisis Anggaran yang Mengancam Nyawa

Source: Basarnas

Pernyataan paling mengejutkan datang ketika Syafii mengungkap bahwa Basarnas bahkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti gaji pegawai. Lembaga yang bertugas menyelamatkan nyawa ini terpaksa mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp1,09 triliun kepada Kementerian Keuangan untuk menutupi kekurangan gaji, operasional barang, pemeliharaan sarana prasarana, dan sistem komunikasi teknologi informasi.

Ironisnya, pagu indikatif yang ditetapkan Kemenkeu dan Bappenas untuk RAPBN 2026 hanya sebesar Rp1,01 triliun. Angka ini sangat jauh dari kebutuhan minimal Basarnas yang seharusnya sebesar Rp2,27 triliun. Dengan kata lain, terjadi kekurangan anggaran (backlog) sekitar Rp1,26 triliun yang mengancam kemampuan operasional lembaga.

“Setiap keterlambatan, ketidaksiapan sarana dan prasarana, maupun kemampuan personel yang tidak terjaga bisa berimbas pada jiwa yang bisa diselamatkan dan akhirnya melayang,” tegas Syafii, menekankan bahwa Basarnas bukanlah lembaga administrasi melainkan operasional yang langsung berhubungan dengan keselamatan jiwa.

Dampak Nyata di Lapangan

Keterbatasan anggaran ini bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi memiliki dampak langsung pada kemampuan operasional Basarnas. Hal ini terlihat jelas dalam kasus tenggelamnya KMP Tunu Pratama di Selat Bali yang mengangkut 53 penumpang, 12 kru kapal, dan 22 unit kendaraan.

Ketiadaan Peralatan Krusial

Dalam penanganan kasus tersebut, terungkap bahwa Basarnas belum memiliki alat sonar yang memadai untuk mendeteksi lokasi pasti kapal tenggelam. Ketua Komisi V DPR, Lasarus, mengungkapkan bahwa dari pemaparan Basarnas, lembaga SAR nasional memang sudah memiliki alat untuk mendeteksi korban yang terperangkap di kapal, namun tidak bisa menemukan lokasi kapal karena tidak memiliki multibeam sonar echosounder.

“Basarnas ini belum punya alat sonar yang memadai untuk mencari titik di mana kapal berada kalau dia tenggelam,” ungkap Lasarus. Kondisi ini memaksa Basarnas harus mengandalkan bantuan dari pihak luar, bahkan dari luar negeri, untuk operasi pencarian yang kompleks.

Kekurangan SDM Terlatih

Selain ketiadaan peralatan, Basarnas juga menghadapi masalah kekurangan operator yang mampu mengoperasikan alat-alat SAR berteknologi tinggi. Kondisi ini semakin mempersulit operasi pencarian dan pertolongan, terutama dalam kasus-kasus yang memerlukan teknologi canggih.

Penurunan Prestasi Internasional

Source: Metro Tv

Dampak dari keterbatasan anggaran ini juga terlihat dari penurunan peringkat Basarnas di tingkat internasional. Menurut Asia Pacific SAR Plan Implementation, Indonesia yang sempat berada di posisi 5 besar pada 2023 (setelah Singapura, Amerika, Australia, dan Vietnam), turun ke posisi 6 pada 2024, dan semakin merosot ke posisi 8 pada 2025.

Penurunan ini tidak lepas dari hasil audit organisasi internasional seperti International Maritime Organization (IMO), International Civil Aviation Organization (ICAO), dan International Search and Rescue Advisory Group (INSARAG) yang menetapkan standar layanan SAR global.

“Jika persyaratan tidak dipenuhi, status medium class INASAR bisa dicabut. Ini akan menurunkan posisi diplomasi Indonesia di tingkat internasional,” peringatkan Syafii.

Kritik Publik dan Tekanan Internasional

Kinerja Basarnas menjadi sorotan tajam setelah insiden jatuhnya turis Brasil, Juliana Marins, di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Penanganan evakuasi yang dianggap lambat tidak hanya membuat Indonesia menjadi sasaran kritik netizen Brasil, tetapi juga mempertanyakan kredibilitas sistem SAR nasional.

“Saat ini operasi SAR sering dianggap tidak cepat, tepat dan terkoordinasi. Fungsi deteksi dini saat ini sudah mulai terganggu dan masyarakat sangat membutuhkan layanan publik khususnya jaminan keselamatan,” keluh Syafii.

Urgensi Solusi Komprehensif

Menghadapi kondisi ini, Syafii meminta perhatian dan dukungan DPR RI untuk menjaga posisi Indonesia tetap diperhitungkan dalam forum internasional SAR. Ia menekankan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang rawan bencana dan berada di lingkar cincin api Pasifik sangat membutuhkan layanan SAR yang memenuhi standar global.

Lasarus sebagai Ketua Komisi V DPR merespons dengan meminta Basarnas memprioritaskan anggaran yang dimiliki untuk program utama terlebih dahulu. Ia juga berjanji akan memperjuangkan agar kebutuhan mendesak Basarnas, termasuk pengadaan alat sonar, dapat menjadi prioritas dalam anggaran 2026.

“Negara sebesar ini seharusnya tak lagi bergantung pada bantuan luar dalam hal pencarian kapal tenggelam. Kami akan perjuangkan agar hal ini bisa masuk dalam anggaran tahun depan,” tegas Lasarus.

Kondisi Basarnas saat ini menjadi cermin bagaimana keterbatasan anggaran dapat berdampak langsung pada keselamatan jiwa. Sebagai negara kepulauan dengan dua pertiga wilayah berupa lautan, Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap kecelakaan maritim. Investasi pada sistem SAR yang modern dan lengkap seharusnya menjadi prioritas nasional, bukan pilihan.

Kasus ini juga mengingatkan kita bahwa penyelamatan jiwa tidak bisa ditunda-tunda karena masalah administratif atau keterbatasan anggaran. Setiap detik keterlambatan dalam operasi SAR bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati bagi korban yang membutuhkan pertolongan.

Pemerintah dan DPR kini dihadapkan pada pilihan: apakah akan terus membiarkan Basarnas berjuang dengan keterbatasan yang ada, atau segera mengambil langkah konkret untuk memastikan lembaga SAR nasional memiliki kemampuan yang memadai untuk menjalankan misi mulia menyelamatkan nyawa.