June 4, 2025 By A G
04 Juni 2025 – Dalam sebuah pertarungan hukum yang mencuri perhatian dunia pendidikan global, Universitas Harvard berhasil meraih kemenangan signifikan melawan kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump. Pengadilan Federal Boston memutuskan untuk memperpanjang penangguhan kebijakan yang melarang Harvard menerima mahasiswa asing pada Kamis, 29 Mei 2025. Keputusan ini bukan hanya menjadi nafas lega bagi ribuan mahasiswa internasional, tetapi juga menandai perlawanan institusi pendidikan terhadap tekanan politik yang mengancam kebebasan akademik.
Pada 22 Mei 2025, Presiden Trump mengeluarkan kebijakan yang mencabut hak Harvard University untuk menerima mahasiswa internasional. Keputusan mendadak ini langsung menimbulkan goncangan hebat di kalangan akademisi, mengingat Harvard merupakan salah satu universitas paling bergengsi di dunia dengan tradisi panjang menerima talenta terbaik dari berbagai negara.
Kebijakan tersebut mengancam status hukum lebih dari 5.000 mahasiswa dan cendekiawan internasional yang sedang menempuh pendidikan di Harvard. Jika diterapkan, mereka berpotensi dipaksa meninggalkan Amerika Serikat, menghentikan studi, dan menghancurkan masa depan akademik serta profesional yang telah mereka bangun dengan susah payah.
Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem melontarkan tuduhan keras terhadap Harvard. Ia menuduh universitas tersebut telah mendorong kekerasan, antisemitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China. Tuduhan ini menjadi dasar kebijakan pelarangan yang dikeluarkan pemerintahan Trump.
Noem juga menuding pihak kampus tidak kooperatif dalam memberikan data terkait aktivitas mahasiswa pemegang visa asing. Dalam konteks program SEVP (Student and Exchange Visitor Programme), Harvard diberi ultimatum 30 hari untuk membuktikan bahwa mereka memenuhi persyaratan atau menghadapi pencabutan sertifikasi.
Harvard tidak tinggal diam menghadapi kebijakan yang dianggap diskriminatif ini. Pihak universitas segera mengajukan gugatan ke pengadilan federal pada 23 Mei 2025, hanya sehari setelah kebijakan Trump diumumkan. Harvard berargumen bahwa tindakan pemerintah tersebut melanggar Amandemen Pertama, Klausul Proses Hukum, dan Undang-Undang Prosedur Administratif.
Presiden Harvard, Alan Garber, dengan tegas menyebut langkah pemerintahan Trump sebagai tindakan pembalasan karena kampus menolak menyerahkan data mahasiswa internasional kepada pemerintah. Bagi Harvard, hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap privasi dan kebebasan akademik yang telah lama dijunjung tinggi.
Hakim Pengadilan Distrik AS Allison Burroughs merespons dengan cepat gugatan Harvard. Pada hari yang sama gugatan diajukan, ia mengeluarkan perintah sementara untuk menangguhkan kebijakan Trump. Enam hari kemudian, pada 29 Mei 2025, Burroughs memperpanjang perintah penangguhan tersebut dengan mengeluarkan injunksi awal yang memberikan perlindungan hukum jangka panjang bagi Harvard.
Keputusan ini memungkinkan mahasiswa dan staf pengajar internasional untuk terus belajar dan mengajar di Harvard selama proses litigasi berlangsung. Ini merupakan kemenangan strategis yang memberikan waktu bagi universitas untuk mempersiapkan argumen hukum yang lebih kuat dalam persidangan utama.
Harvard saat ini menerima hampir 6.800 mahasiswa internasional pada tahun ajaran 2024-2025, yang setara dengan 27 persen dari total mahasiswa baru. Lebih dari 25 persen mahasiswa Harvard berasal dari luar negeri, termasuk hampir 60 persen dari program pascasarjana di Harvard Kennedy School. Angka-angka ini menunjukkan betapa integralnya mahasiswa internasional dalam ekosistem pendidikan Harvard.
Pada 2022, warga negara China merupakan kelompok mahasiswa asing terbesar di Harvard dengan 1.016 orang, diikuti mahasiswa dari Kanada, India, Korea Selatan, Inggris, Jerman, Australia, Singapura, dan Jepang. Keragaman ini menjadi salah satu kekuatan Harvard dalam menciptakan lingkungan akademik yang dinamis dan global.
Kebijakan pelarangan mahasiswa asing hanyalah salah satu dari serangkaian serangan pemerintahan Trump terhadap Harvard. Sebelumnya, pemerintah telah menangguhkan pendanaan riset senilai hampir 3 miliar dollar AS (sekitar Rp 48 triliun), mengusulkan pencabutan status bebas pajak, hingga membuka penyelidikan terhadap dugaan diskriminasi berdasarkan ras, gender, dan orientasi seksual.
Serangan multifrontal ini menunjukkan upaya sistematis untuk menekan institusi pendidikan tinggi yang dianggap tidak sejalan dengan agenda politik pemerintahan. Harvard menjadi simbol perlawanan terhadap upaya politisasi dunia akademik yang dapat merusak tradisi kebebasan berpikir dan riset.
Sehari sebelum sidang, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengumumkan rencana untuk “secara agresif” mencabut visa mahasiswa asal China, terutama mereka yang diduga memiliki hubungan dengan Partai Komunis China atau menempuh studi di bidang-bidang sensitif. Saat ini terdapat lebih dari 275.000 mahasiswa China yang kuliah di ratusan universitas di AS.
Kehadiran mahasiswa China selama ini menjadi sumber pemasukan besar sekaligus pasokan talenta bagi sektor teknologi AS. Lynn Pasquerella, Presiden Asosiasi Perguruan Tinggi dan Universitas AS, menyebut langkah ini sebagai kerugian besar yang dapat menyebabkan brain drain bagi Amerika Serikat.
Keputusan pengadilan bertepatan dengan momen wisuda ribuan mahasiswa Harvard yang digelar sekitar 8 kilometer dari ruang sidang. Dalam pidatonya, Presiden Garber menyambut para lulusan dari berbagai penjuru dunia dengan kata-kata yang penuh makna: “Selamat datang anggota Kelas 2025, anggota Kelas 2025 dari ujung jalan, di seluruh negeri, dan di seluruh dunia.”
Kevin Pacheco, seorang pengajar di Sekolah Kedokteran Harvard, mengungkapkan pentingnya mahasiswa internasional: “Mahasiswa internasional adalah bagian dari kehidupan kita semua. Harvard bukanlah Harvard tanpa mahasiswa internasional. Mereka adalah beberapa mahasiswa paling berbakat dan cerdas di kampus kami.”
Kemenangan Harvard dalam gugatan ini bukan hanya tentang mempertahankan hak untuk menerima mahasiswa internasional, tetapi juga tentang mempertahankan nilai-nilai fundamental dalam dunia pendidikan tinggi. Keputusan ini menjadi preseden penting bagi universitas-universitas lain yang mungkin menghadapi tekanan serupa dari pemerintah.
Harvard berkomitmen untuk terus melindungi hak-hak mahasiswa dan akademisi internasional sebagai anggota komunitas yang sangat penting bagi misi universitas. Kehadiran mereka memberikan manfaat tak terkira bagi negara Amerika Serikat melalui kontribusi dalam riset, inovasi, dan pertukaran budaya.
Dengan kemenangan ini, Harvard kembali dapat menerima mahasiswa dari berbagai penjuru dunia, mempertahankan statusnya sebagai institusi pendidikan global yang terdepan. Perjuangan ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan tidak akan mundur dalam membela kebebasan akademik dan keragaman yang menjadi fondasi kemajuan ilmu pengetahuan.