May 30, 2025 By A G
30 Mei 2025 – Pada Rabu, 28 Mei 2025, dunia dikejutkan oleh kabar serangan udara Israel ke Bandara Internasional Sanaa, Yaman. Dalam serangan tersebut, satu-satunya pesawat Yemenia Airways yang telah disiapkan untuk mengangkut jemaah haji ke Arab Saudi dihancurkan total. Insiden ini bukan hanya menandai eskalasi militer terbaru di Timur Tengah, tetapi juga memberikan dampak besar bagi 800 calon jemaah haji asal Yaman yang kini kehilangan akses ke Tanah Suci.
Empat rudal udara dilaporkan menghantam landasan pacu bandara dan menghancurkan pesawat jenis Airbus A320-233 yang baru saja tiba dari Amman, Yordania. Padahal, pesawat itu dijadwalkan berangkat menuju Jeddah sebagai bagian dari gelombang keberangkatan haji dari Yaman. Serangan ini menandai pukulan telak terhadap sektor penerbangan sipil Yaman yang sedang berupaya bangkit dari reruntuhan konflik berkepanjangan.
Israel mengklaim serangan ini sebagai respons terhadap peluncuran dua proyektil oleh kelompok Houthi ke wilayah Israel sehari sebelumnya. Menurut laporan Channel 12 Israel, lebih dari 10 jet tempur dikerahkan untuk menyerang bandara tersebut. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyebut operasi ini sebagai “pesan tegas bahwa siapa pun yang menyerang Israel akan membayar mahal.”
Namun, respons Israel menuai kritik tajam, karena serangan tersebut tidak hanya menyasar milisi Houthi, tetapi juga infrastruktur sipil yang vital. Pesawat yang dihancurkan merupakan satu-satunya armada aktif Yemenia Airways yang tersisa di bandara Sanaa setelah sebelumnya tiga pesawat lainnya rusak akibat serangan Israel awal Mei lalu.
Akibat serangan ini, rencana keberangkatan sekitar 800 jemaah haji asal Yaman menuju Arab Saudi secara resmi dibatalkan. Tidak hanya itu, ribuan pasien yang berharap melakukan perjalanan keluar negeri untuk berobat juga terpaksa membatalkan keberangkatan. Direktur Jenderal Bandara Internasional Sanaa, Khaled al-Shaief, menyebut tindakan Israel sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan prinsip kemanusiaan.
Bandara Sanaa sendiri baru saja dibuka kembali untuk layanan komersial terbatas pada 17 Mei lalu, setelah mengalami kerusakan berat dari serangan sebelumnya. Pemerintah di Sanaa menyatakan bahwa total sudah delapan pesawat sipil yang hancur sejak awal agresi Israel terhadap Yaman.
Serangan udara terhadap fasilitas sipil ini memicu kecaman dari berbagai pihak. Kelompok Hizbullah di Lebanon menyebutnya sebagai “agresi biadab” dan mendesak dunia internasional untuk segera bertindak. Mereka menyalahkan Amerika Serikat karena membiarkan agresi Israel meluas ke berbagai wilayah, termasuk Gaza, Lebanon, dan kini Yaman.
Pemimpin kelompok Houthi, Abdul-Malik al-Houthi, menyatakan bahwa serangan ini adalah bagian dari upaya Israel untuk menghalangi solidaritas negara-negara Muslim terhadap Palestina. Ia menegaskan bahwa rakyat Yaman akan terus mendukung Palestina meski dihadang dengan agresi militer berkali-kali. “Salah satu tujuan Israel adalah menghentikan dukungan terhadap rakyat Palestina. Tapi mereka gagal,” ujarnya dalam pidato resminya di Sanaa.
Pemerintah Israel berdalih bahwa serangan ini ditujukan untuk melemahkan kekuatan militer kelompok Houthi, yang dianggap sebagai proksi Iran di kawasan. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Houthi hanyalah gejala dari peran Iran dalam mendorong agresi terhadap Israel. “Iran adalah aktor utama di balik semua ini. Serangan dari Yaman adalah bagian dari strategi besar Iran,” tegasnya.
Israel memandang peluncuran proyektil oleh Houthi sebagai provokasi yang membahayakan stabilitas kawasan, terutama sejak dimulainya konflik berskala penuh di Gaza pada Oktober 2023. Kelompok Houthi sendiri telah berulang kali meluncurkan rudal dan drone ke wilayah Israel serta menyerang kapal dagang di Laut Merah sebagai bentuk protes terhadap agresi Israel ke Gaza.
Serangan terhadap Bandara Sanaa menjadi gambaran nyata dari memburuknya situasi kemanusiaan di Yaman. Selain mengganggu pelaksanaan ibadah haji, agresi ini juga memutus jalur evakuasi medis bagi warga sipil. Pemerintah Yaman menyerukan kepada PBB dan Dewan Keamanan untuk mengecam keras tindakan Israel dan menjamin perlindungan terhadap infrastruktur sipil di wilayah konflik.
Banyak pihak khawatir bahwa serangan ini akan memperburuk krisis kemanusiaan yang telah menjerat jutaan warga Yaman. Ketika fasilitas seperti bandara, rumah sakit, dan pelabuhan menjadi target serangan, akses terhadap bantuan kemanusiaan semakin terbatas. Hal ini tentu menyulitkan upaya internasional dalam membangun kembali sistem transportasi dan kesehatan di negara yang telah dilanda perang saudara selama hampir satu dekade.
Tragedi di Bandara Sanaa menunjukkan bahwa konflik di Timur Tengah tidak lagi hanya soal militer, tetapi juga soal akses dasar umat manusia terhadap mobilitas, ibadah, dan perawatan kesehatan. Bagi publik yang cenderung memiliki kesadaran sosial tinggi dan aktif mengakses informasi global peristiwa ini mengingatkan bahwa perang modern tak hanya berlangsung di garis depan, tapi juga menyasar hak-hak sipil paling mendasar.
Dengan satu serangan, ratusan jemaah kehilangan kesempatan beribadah, ribuan orang kehilangan harapan untuk pengobatan, dan dunia kembali melihat rapuhnya infrastruktur damai di wilayah konflik. Ketika bandara sipil dihancurkan dalam konteks balas dendam, dunia seakan diingatkan bahwa konflik geopolitik kini semakin kabur batasnya dengan krisis kemanusiaan.