May 28, 2025 By pj
28 Mei 2025 – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengambil langkah progresif dengan menghapus sejumlah persyaratan diskriminatif dalam proses rekrutmen kerja. Aturan ini dirancang untuk menciptakan akses kerja yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi semua pencari kerja, tanpa memandang usia, penampilan fisik, atau status pernikahan.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, mengungkapkan bahwa Kemnaker tengah menyusun kebijakan baru yang melarang penggunaan syarat “good looking” dalam lowongan kerja. Ia juga menegaskan bahwa persyaratan usia dan status pernikahan akan turut dihapus demi mempermudah masyarakat mendapatkan pekerjaan yang layak.
“Syarat harus good looking dan sebagainya, itu juga tidak ada, kemudian umur tidak ada juga. Kemudian pertanyaan-pertanyaan yang menjadi syarat soal sudah nikah belum nikah itu juga kita hapus,” ujar Immanuel.
Langkah ini merupakan kelanjutan dari kebijakan sebelumnya yang melarang penahanan ijazah oleh perusahaan sebagai syarat kerja.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyampaikan bahwa kebijakan penghapusan persyaratan usia akan diformalkan melalui Surat Edaran (SE). Ia menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan kebijakan ini diperkuat menjadi Peraturan Menteri agar memiliki kekuatan hukum yang lebih mengikat.
“Insya Allah akan kami respons segera dengan suatu imbauan dan SE,” tegas Yassierli dalam pernyataannya di Jakarta pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Peneliti dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai langkah ini sangat tepat di tengah tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Ia menyoroti bahwa pekerja berusia 30–40 tahun semakin sulit mendapatkan pekerjaan kembali setelah terkena PHK, padahal mereka masih tergolong produktif.
“Orang yang terkena PHK pada usia 30-40 tahun akan semakin susah mendapatkan pekerjaan kembali. Padahal kebutuhan mereka tambah tinggi dengan berkeluarga,” kata Huda.
Data dari Kemnaker menunjukkan bahwa hingga Mei 2025, terdapat 26.455 pekerja terdampak PHK. Jumlah ini menambah tekanan bagi kelompok usia dewasa yang ingin kembali ke dunia kerja.
Huda juga menyatakan bahwa banyak perusahaan mensyaratkan usia maksimal 25 hingga 30 tahun untuk efisiensi biaya dan kemudahan menjaring pekerja fresh graduate. Hal ini menyebabkan pekerja berusia lebih tua harus beralih ke sektor informal yang tidak menjamin kesejahteraan.
Dosen Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, mengungkapkan bahwa syarat usia dalam lowongan kerja berdampak besar terhadap perempuan dan pekerja kontrak. Banyak perempuan yang keluar dari dunia kerja karena alasan keluarga, dan saat kembali, terhalang oleh batas usia.
“Jika perempuan akhirnya kembali bekerja, kebanyakan mereka akhirnya diterima di sektor informal yang upah dan jaminan sosialnya sangat terbatas,” jelas Nabiyla.
Ia juga menekankan bahwa pekerja kontrak merupakan kelompok paling rentan karena tidak memiliki kepastian kontrak, dan ketika kontrak berakhir, mereka tak lagi memenuhi syarat usia yang diminta pasar kerja.
Leonardo Olefins Hamonangan, Max Andrew Ohandi, dan Martin Maurer mengajukan gugatan uji materi terhadap frasa “dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” dalam Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan. Mereka beranggapan bahwa frasa tersebut memungkinkan perusahaan memberlakukan batasan usia sebagai syarat penerimaan pekerja, yang menurut mereka merupakan diskriminasi dan melanggar HAM. Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menolak gugatan yang diajukan oleh Leonardo dan kawan-kawan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa kebijakan soal batas usia tidak bisa dilarang atau dibenarkan secara mutlak.
“Keragaman jenis dan syarat pekerjaan tidak dapat diatur atau dituangkan dalam satu rumusan ketentuan yang spesifik. Pengaturan yang lebih spesifik atau detail terkait syarat masing-masing bidang pekerjaan sebaiknya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan,” ujar Enny.
Kebijakan penghapusan syarat nonesensial seperti penampilan menarik, usia, dan status pernikahan dinilai sebagai langkah konkret menuju pasar kerja yang lebih inklusif. Pemerintah mendorong agar proses rekrutmen lebih menekankan pada kapabilitas, kompetensi, dan keterampilan pencari kerja, bukan faktor-faktor subjektif yang tidak relevan dengan pekerjaan.
“Kita berharap mitra industri tidak lagi memberi persyaratan yang berat. Umur akan kita hapus,” ujar Immanuel.
Dengan regulasi ini, diharapkan tidak ada lagi pekerja yang merasa insecure atau kehilangan kesempatan hanya karena tidak memenuhi standar usia atau penampilan tertentu. Dunia kerja di Indonesia kini diarahkan untuk memberi peluang seluas-luasnya bagi semua kalangan, tanpa diskriminasi.
Related Tags & Categories :