May 21, 2025 By Reynaldi Aditya Ramadhan
21 Mei 2025 – Setiap menit, enam bayi lahir di Indonesia. Namun, alih-alih menjadi indikator positif bagi regenerasi nasional, fakta ini justru memunculkan kekhawatiran: sebagian besar dari bayi tersebut berasal dari keluarga miskin dan rentan miskin.
Peringatan ini disampaikan oleh Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana. Ia menyebut tren ini dapat menjadi tantangan besar bagi masa depan Indonesia apabila tidak segera direspons melalui kebijakan gizi dan pendidikan yang memadai.
Indonesia diproyeksikan akan mencapai 324 juta jiwa pada tahun 2045, meningkat dari sekitar 284 juta jiwa saat ini. Dengan demikian, terdapat penambahan sekitar 40 juta penduduk dalam dua dekade ke depan, atau setara dengan 3 juta jiwa per tahun, yakni 6 kelahiran per menit.
Namun, peningkatan jumlah penduduk ini tidak terjadi secara merata di seluruh lapisan masyarakat. Menurut Dadan, keluarga miskin dan rentan miskin merupakan kontributor utama pertumbuhan penduduk, sementara rumah tangga kelas menengah dan atas justru menunjukkan kecenderungan stagnasi atau penurunan jumlah anggota keluarga.
“Jika digabungkan, jumlah rata-rata anggota rumah tangga dari kelompok rentan miskin dan miskin mencapai 4,56 orang. Sementara itu, kelas atas hanya 2,84 dan kelas menengah 3,21,” ungkap Dadan.
Dengan kata lain, peningkatan populasi nasional secara signifikan didorong oleh kelompok masyarakat dengan kondisi ekonomi yang paling lemah.
Pemerintah Indonesia menargetkan tahun 2045 sebagai momen strategis menuju “Indonesia Emas”, yakni ketika negara ini akan menikmati bonus demografi—suatu kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif lebih dominan daripada usia non-produktif. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Dadan, bonus demografi tidak akan memberikan manfaat optimal apabila tidak disertai dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang memadai.
“Anak-anak yang lahir saat ini akan menjadi tenaga kerja pada dua dekade mendatang. Namun apabila sejak dini mereka tidak memperoleh kecukupan gizi, bagaimana mungkin mereka dapat bersaing secara global?” ujarnya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa 60 persen anak penerima manfaat program Makan Bergizi Gratis (MBG) bahkan belum pernah mengonsumsi makanan dengan komposisi gizi seimbang. Sebagian besar hanya mengandalkan nasi dengan lauk sederhana seperti kerupuk, bihun, atau makanan olahan lainnya. Konsumsi daging, telur, maupun susu masih tergolong sangat jarang.
Permasalahan ini bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan gizi di kalangan masyarakat, melainkan karena keterbatasan daya beli.
Menjawab tantangan tersebut, pemerintah meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini dipandang sebagai investasi jangka panjang terhadap pembangunan kualitas SDM nasional, bukan sekadar intervensi bantuan pangan jangka pendek.
“Presiden menegaskan bahwa program makanan bergizi harus berjalan secara konsisten. Tanpa hal tersebut, kita berisiko mendapatkan bonus demografi dengan kualitas rendah,” jelas Dadan.
Program MBG telah diimplementasikan di sejumlah daerah, seperti Sukabumi dan Sleman. Hasil awal menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga prasejahtera tidak hanya mengalami kekurangan gizi, namun juga menghadapi risiko tinggi untuk putus sekolah, mengingat rata-rata tingkat pendidikan orang tua mereka hanya sampai jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Berdasarkan data BGN, rata-rata lama pendidikan penduduk Indonesia saat ini adalah 9 tahun, setara dengan pendidikan dasar dan menengah pertama. Padahal, pada tahun 2045 mendatang, persaingan global diprediksi akan semakin kompetitif dan berbasis teknologi serta keterampilan tinggi.
“Anak-anak yang saat ini berada dalam masa kandungan, balita, maupun jenjang pendidikan dasar, merekalah calon tenaga kerja Indonesia di masa depan. Apabila tidak dipersiapkan sejak sekarang, kita akan kehilangan momentum berharga,” ujar Dadan.
Selain pendidikan, aspek ekonomi juga menjadi hambatan. Sebanyak 60% keluarga miskin di Indonesia memiliki penghasilan di bawah Rp 1 juta per bulan, menjadikan akses terhadap gizi seimbang dan pendidikan berkualitas sebagai sesuatu yang sulit terjangkau.
Bonus demografi bukanlah sesuatu yang hadir secara otomatis. Potensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila negara secara serius mempersiapkan generasi mudanya melalui pemenuhan kebutuhan gizi, akses pendidikan yang setara, serta pemberdayaan ekonomi yang inklusif.
Program Makan Bergizi Gratis merupakan langkah awal yang penting. Namun, keberhasilannya memerlukan konsistensi implementasi, pengawasan yang ketat, serta integrasi dengan sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Pada akhirnya, kuantitas penduduk tidak akan menjadi keunggulan apabila tidak diiringi oleh kualitas manusianya.
Related Tags & Categories :