May 19, 2025 By Abril Geralin
19 Mei 2025 – Dalam aksi bersejarah yang berlangsung di Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Renon, Denpasar, sebanyak 13.000 pecalang dari 1.500 desa adat di seluruh Bali menggelar “Gelar Agung Pecalang” pada Sabtu (17/5/2025). Mereka menyatakan sikap tegas menolak keberadaan premanisme yang berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) di Pulau Dewata.
Para pecalang satuan pengamanan tradisional Bali berkumpul dengan mengenakan seragam hitam lengkap dengan saput poleng (kain hitam-putih) dan udeng (penutup kepala) senada, menunjukkan persatuan dan keteguhan sikap mereka. Bahkan, 15 pecalang istri (wanita) dari Batukaru, Kabupaten Tabanan, turut hadir dalam deklarasi yang menggemparkan ini.
Deklarasi yang disampaikan dalam Gelar Agung Pecalang memuat tiga poin utama:
“Akhir-akhir ini kan ada penolakan preman berkedok ormas. Mereka (pecalang) kan sporadis, pribadi-pribadi memvideokan penolakan. Jadi atas inisiatif Pasikian Pecalang Bali, mereka menyatukan sikap,” ujar Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, di lokasi acara.
Kehadiran ormas dari luar Bali yang mengklaim sebagai penjaga keamanan telah memicu keresahan di masyarakat Bali. Fenomena ini memunculkan berbagai video penolakan secara sporadis dari pecalang di berbagai desa adat, yang kemudian mendorong Pasikian Pecalang Bali untuk menyatukan sikap dalam bentuk deklarasi resmi.
“Bali tidak memerlukan ormas yang berkedok ingin menjaga Bali sebab pecalang sudah menjadi garda terdepan menjaga adat, budaya, tradisi, dan kearifan lokal Bali,” tegas Ida Penglingsir.
Ia menambahkan, “Pecalang Bali sejak leluhur sudah menjaga Bali, nindihin gumi Bali. Pecalang Bali menolak kriminalisme, premanisme dan sikap anarkis yang dilakukan preman berbaju ormas dan berkedok ormas.”
Menariknya, deklarasi yang diikuti belasan ribu pecalang ini disiapkan dalam waktu sangat singkat hanya tiga hari. Hal ini menunjukkan urgensi masalah dan keseriusan pecalang dalam menanggapi fenomena ormas premanisme di Pulau Dewata.
Sekretaris Pasikian Pecalang Bali, Ngurah Pradnyana, mengungkapkan bahwa Gelar Agung Pecalang ini merupakan respons terhadap kehadiran ormas di Pulau Dewata yang telah memicu reaksi keras dari para pecalang di desa adat.
“Mereka sangat antusias, semangat sekali karena apa yang menjadi aspirasi mereka di bawah, yang disampaikan di media-media sosial kita tampung aspirasinya. Kita ajak di sini menyampaikan sikap,” kata Pradnyana.
Pecalang di Bali dikenal sebagai satuan pengamanan tradisional yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah desa adat. Yang menarik, selama ini mereka mengabdi secara tulus dan ikhlas tanpa memperoleh bayaran tetap.
“Yang hadir seluruh pecalang desa adat se-Bali yang berjumlah 1.500 desa adat. Dari konfirmasi yang kami terima sampai tadi pagi, jumlah yang hadir sekitar 13 ribu lebih dari seluruh pecalang desa adat yang ada di Bali,” jelas Pradnyana.
Meskipun tidak mendapatkan honor atau gaji, semangat pengabdian pecalang tidak pernah surut. “Meskipun mereka tidak dapat honor, insentif, atau gaji, mereka tetap semangat mengabdi. Sudah ribuan tahun pecalang ini, jauh sebelum NKRI ada,” ungkap Ida Penglingsir.
Di tengah semangat membela dan menjaga Bali, Pasikian Pecalang Bali juga menyuarakan harapan agar ketulusan mereka mendapat apresiasi dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dalam bentuk insentif.
Aspirasi ini disambut baik oleh MDA Bali yang menilai kesejahteraan pecalang Bali perlu diperhatikan, mengingat peran mereka yang tidak hanya menjaga desa adat, tetapi juga terlibat dalam mengamankan kegiatan berskala nasional dan internasional di Pulau Dewata.
“Mudah-mudahan. Bapak Gubernur dan Wakil Gubernur sekarang sangat pro dengan adat dan budaya Bali. Pecalang itu adalah terdepannya,” kata Ida Penglingsir.
Namun, Ngurah Pradnyana menegaskan bahwa belum ada komunikasi formal dengan pemerintah terkait insentif tersebut. “Karena semeton (teman-teman) pecalang Bali ini sifatnya ngayah (sukarela), tidak ada istilahnya mendapatkan insentif, gaji, atau segala macam. Memang bukan itu tujuan kita untuk menjadi pecalang. Tujuan kita untuk nindihin gumi (membela negeri) Bali dan menjaga keamanan di wewidangan (wilayah) desa adat,” tutupnya.
Kemegahan Gelar Agung Pecalang tidak hanya terlihat dari jumlah peserta yang hadir, tetapi juga dari keseragaman dan ketertiban mereka. Ribuan pecalang berbaris rapi dengan seragam hitam khas, menunjukkan soliditas dan kekompakan sebagai penjaga tradisi Bali.
Kehadiran pecalang istri di tengah dominasi pecalang pria juga mencerminkan inklusivitas dalam sistem keamanan tradisional Bali. Mereka semua telah berkumpul sejak pukul 08.00 pagi untuk membahas isu keamanan dan ketertiban di Bali.
Fenomena ormas dengan perilaku premanisme merupakan tantangan baru bagi sistem keamanan tradisional di Bali. Di tengah arus modernisasi dan perubahan sosial, pecalang harus beradaptasi untuk tetap relevan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban berbasis adat.
Meski demikian, semangat pengabdian dan komitmen para pecalang untuk “nindihin gumi Bali” (membela negeri Bali) tidak pernah luntur. Deklarasi yang digelar secara masif ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional masih kuat mengakar dan mampu menjadi benteng pertahanan budaya Bali dari pengaruh negatif yang datang dari luar.
Aksi besar-besaran pecalang Bali ini juga mengandung pesan penting bagi generasi muda, khususnya yang berusia 24-35 tahun. Di era di mana nilai-nilai tradisional sering kali dipertanyakan relevansinya, pecalang menunjukkan bahwa menjaga tradisi dan kearifan lokal adalah tanggung jawab bersama.
Melalui deklarasi ini, pecalang tidak hanya menolak premanisme berkedok ormas, tetapi juga menegaskan pentingnya melestarikan sistem keamanan berbasis adat yang telah terbukti efektif menjaga keharmonisan masyarakat Bali selama berabad-abad.
Dengan demikian, ribuan pecalang Bali telah membuktikan bahwa mereka bukan sekadar figur simbolis dalam upacara adat, melainkan garda terdepan yang siap membela dan menjaga keutuhan tradisi, budaya, dan keamanan Pulau Dewata dari berbagai ancaman, termasuk premanisme berkedok ormas.