Leet Media

Anak Nakal Masuk Barak Militer Ini Penjelasan Lengkap Menteri HAM Soal Rencana Nasional

May 9, 2025 By Reynaldi Aditya Ramadhan

8 Mei 2025 – Rencana pengiriman siswa bermasalah ke barak militer kembali menjadi sorotan setelah Menteri Hukum dan HAM, Natalius Pigai, menyatakan dukungannya terhadap kebijakan serupa yang telah diujicobakan di Jawa Barat oleh Gubernur Dedi Mulyadi. Program ini bertujuan untuk mendisiplinkan siswa yang dinilai bermasalah—misalnya bolos sekolah, terlibat tawuran, hingga penyalahgunaan narkoba—melalui pendidikan semi-militer selama dua minggu hingga enam bulan di bawah pengawasan TNI.

Dalam pernyataannya pada 6 Mei 2025, Natalius Pigai menegaskan bahwa program tersebut tidak melanggar hak asasi manusia selama tidak ada kekerasan fisik. Ia bahkan membuka peluang untuk mendorong agar kebijakan ini diterapkan secara nasional, jika terbukti efektif.

Penjelasan Menteri HAM soal pendekatan pendidikan karakter

Menurut Pigai, konsep pendidikan di barak bukanlah bentuk hukuman fisik atau corporal punishment, melainkan pendekatan pembinaan karakter, disiplin, dan tanggung jawab. “Saya belum melihat bahwa pendidikan yang bertujuan menciptakan masyarakat yang disiplin dan bermartabat itu melanggar HAM,” ujar Pigai.

Ia menekankan bahwa hukuman fisik seperti mencubit, menampar, atau memukul jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan tidak boleh diterapkan dalam program ini. Namun, selama pembinaan dilakukan dalam koridor edukatif dan transparan, kebijakan ini dianggap bisa mendukung pembentukan karakter siswa.

Potensi perluasan program ke tingkat nasional

Pigai menyebut Jawa Barat sebagai wilayah uji coba dan menyatakan bahwa jika program ini berjalan baik, pihaknya akan mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk mengadopsinya secara luas.

“Kalau uji coba pertama berlangsung bagus, kami meminta Menteri Dikdasmen untuk mengeluarkan sebuah peraturan, supaya ini bisa dijalankan secara masif di seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Namun, ia juga memberi catatan bahwa pelaksanaan program harus diawasi dengan ketat dan transparan, mengingat ini merupakan kebijakan yang menyangkut penggunaan dana publik dan masa depan anak-anak.

Reaksi publik dan pandangan HAM

Meski mendapat dukungan dari Kementerian HAM, kebijakan ini tidak lepas dari kritik. Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyatakan bahwa pengiriman siswa ke barak militer berpotensi melanggar batas kewenangan sipil dan militer, serta menyarankan Gubernur Jawa Barat untuk meninjau kembali pendekatan tersebut.

“Sebetulnya itu bukan kewenangan TNI untuk melakukan edukasi, civil education,” ujar Atnike dalam kesempatan terpisah.

Program ini dinilai dapat membuka ruang bagi pelanggaran HAM jika tidak ada sistem pengawasan yang kuat. Selain itu, pendekatan militer terhadap masalah kedisiplinan siswa dinilai bisa kontraproduktif terhadap perkembangan psikologis anak dan hak atas pendidikan yang aman dan inklusif.

Penjelasan teknis dan rencana ke depan

Program pendidikan semi-militer ini telah dijalankan di dua wilayah awal, yaitu Purwakarta dan Bandung. Setidaknya 69 pelajar telah mengikuti program ini sejak 1 Mei 2025. Barak militer yang digunakan dalam program ini disiapkan oleh TNI, dan pelaksanaannya dilakukan dengan persetujuan sekolah dan orang tua.

Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa siswa yang dikirim ke barak dipilih berdasarkan kesepakatan dengan pihak sekolah dan orang tua. Mereka yang terlibat tawuran, merokok, hingga menyalahgunakan narkoba menjadi prioritas peserta. Dedi juga menambahkan bahwa mulai tahun ajaran baru, Pemprov Jabar akan mulai menerapkan kurikulum wajib militer di sekolah-sekolah tingkat SMA/SMK, yang dilengkapi pembina dari TNI dan Polri.

Catatan akhir soal HAM dan pendidikan disiplin

Pernyataan dari Menteri HAM membuka perdebatan nasional soal bagaimana menangani siswa yang dianggap bermasalah. Di satu sisi, pendekatan disiplin dianggap bisa membentuk karakter dan tanggung jawab. Di sisi lain, pengawasan ketat dibutuhkan agar pendekatan ini tidak berubah menjadi bentuk kekerasan terselubung atau pelanggaran HAM.

Program ini memang baru dimulai, namun jika tidak dikaji secara menyeluruh dan transparan, ada risiko bahwa kebijakan ini bisa menormalisasi pendekatan militer terhadap anak di bawah umur. Maka dari itu, keterlibatan publik, pakar pendidikan, psikolog anak, dan lembaga HAM menjadi sangat penting untuk memastikan kebijakan ini berjalan di jalur yang benar, dan tidak menimbulkan luka baru dalam dunia pendidikan.

Related Tags & Categories :

highlight