April 11, 2025 By Reynaldi Aditya Ramadhan
11 April 2025 – Pemerintah Provinsi Bali resmi melarang peredaran air minum dalam kemasan (AMDK) plastik berukuran di bawah satu liter. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih, yang diluncurkan oleh Gubernur Wayan Koster pada 6 April 2025 lalu. Larangan ini menyasar produsen, distributor, hingga pelaku usaha yang memasarkan produk air minum dalam kemasan plastik sekali pakai di bawah satu liter.
Gubernur Wayan Koster menjelaskan, kebijakan ini merupakan upaya konkret dalam mengatasi persoalan sampah plastik yang semakin mendesak di Bali. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di berbagai kabupaten/kota disebut telah penuh. Oleh karena itu, pengelolaan sampah harus dimulai dari hulu ke hilir, termasuk dengan membatasi jenis kemasan yang sulit dikelola.
“Silakan berproduksi, tapi jangan merusak lingkungan. Bisa pakai botol kaca, seperti di Karangasem,” kata Koster dalam konferensi pers.
Kebijakan ini juga mendorong masyarakat untuk beralih ke penggunaan tumbler dalam aktivitas sehari-hari. Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta, menyebutkan bahwa gerakan ini menjadi bagian dari target pengurangan sampah plastik sebesar 70% pada 2025.
Aturan ini akan diberlakukan secara bertahap dengan masa transisi hingga 2026. Saat ini, belum ada sanksi tegas yang ditetapkan, dan pendekatan yang diambil lebih ke arah edukasi dan sosialisasi. Namun, Pemprov Bali memastikan akan menggandeng komunitas lingkungan dan Satpol PP untuk pengawasan lapangan.
Meski niatnya mulia, kebijakan ini mendapat penolakan dari kalangan industri. Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) menyampaikan keberatan atas larangan tersebut. Ketua Umum Aspadin, Rachmat Hidayat, menilai kebijakan ini akan berdampak signifikan terhadap operasional pabrik, tenaga kerja, distribusi, hingga industri pariwisata.
“Intinya semua minuman plastik sekali pakai dilarang, bukan hanya AMDK. Ini akan berdampak besar, terutama karena wisatawan membutuhkan air kemasan praktis,” ujar Rachmat.
Aspadin menilai bahwa AMDK plastik saat ini sudah jauh lebih ramah lingkungan. Kadar plastik telah berkurang 50% dibanding 10 tahun lalu, dan sebagian besar produk sudah bisa didaur ulang. Selain itu, mengganti kemasan ke botol kaca justru dinilai tidak efisien dan berpotensi merusak lingkungan lain karena konsumsi energi yang tinggi dan kebutuhan pasir silika.
Kebijakan ini membuka ruang perdebatan antara kepentingan lingkungan dan keberlangsungan industri. Di satu sisi, langkah ini mendesak dilakukan untuk menyelamatkan Bali dari krisis sampah plastik. Di sisi lain, industri lokal dan global membutuhkan waktu serta dukungan infrastruktur untuk beradaptasi.
Dengan potensi dampak terhadap sektor pariwisata dan kebiasaan masyarakat, tantangan utama kebijakan ini bukan hanya pada pelaksanaannya, tapi juga pada bagaimana semua pihak—pemerintah, industri, dan masyarakat—bisa berkolaborasi untuk mencari solusi yang berkelanjutan.
Larangan air kemasan plastik di bawah satu liter bisa menjadi babak baru dalam pengelolaan sampah di Bali. Jika diterapkan secara bertahap dan disertai inovasi dari industri, langkah ini dapat menjadi contoh nasional. Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada pendekatan yang inklusif dan realistis agar semangat menjaga lingkungan tidak menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang merugikan.
Related Tags & Categories :