April 9, 2025 By Abril Geralin
09 April 2025 – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini memberikan instruksi yang cukup mengejutkan terkait kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Dalam acara Sarasehan Ekonomi yang digelar di Menara Mandiri, Jakarta pada Selasa (8/4/2025), Prabowo secara tegas memerintahkan jajarannya untuk membuat aturan TKDN lebih fleksibel dan realistis. Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia di kancah internasional.
“Kita harus realistis, TKDN dipaksakan, ini akhirnya kita kalah kompetitif,” tegas Prabowo menanggapi masukan dari para ekonom dan pengusaha dalam sarasehan tersebut. Meskipun mengakui semangat nasionalisme di balik kebijakan TKDN, Presiden menekankan pentingnya pendekatan yang lebih pragmatis.
“TKDN sudah lah niatnya baik, nasionalisme. Saya kalau sudah kenal saya lama paling nasional, kalau istilahnya dulu, kalau jantung saya dibuka yang keluar Merah Putih. Mungkin. Tapi kita harus realistis, TKDN dipaksakan akhirnya kita kalah kompetitif,” ungkap Prabowo.
Presiden menyarankan agar kebijakan TKDN dibuat lebih fleksibel, bahkan mungkin diganti dengan sistem insentif. Ia juga secara khusus menginstruksikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk meninjau ulang regulasi tersebut.
Menurut Prabowo, permasalahan kemampuan dalam negeri tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi TKDN yang ketat. Ia menegaskan bahwa masalah ini merupakan isu yang lebih luas, mencakup aspek pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta penguasaan sains.
“Tolong para menteri saya sudah lah realistis, TKDN dibikin yang realistis saja. Masalah kemampuan dalam negeri, masalah luas, pendidikan, Iptek, sains, ini masalah nggak bisa dengan cara bikin regulasi TKDN,” jelasnya.
Presiden menilai bahwa jika aturan TKDN terlalu dipaksakan, industri Indonesia berisiko kehilangan daya saing dibanding negara lain. Peringatan ini datang setelah Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan ekonomi, termasuk tekanan fiskal, nilai tukar rupiah yang melemah, deindustrialisasi, dan masalah penciptaan lapangan kerja.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid memberikan klarifikasi terkait pernyataan Presiden Prabowo. Menurut Meutya, instruksi presiden bukan untuk mengurangi TKDN, melainkan mencari solusi yang lebih tepat.
“Bahasa beliau itu tepatnya bukan dikurangi tapi dicari solusi. Jadi TKDN-nya itu dicari bagaimana solusinya,” ujar Meutya usai penandatanganan MoU Rumah Subsidi untuk wartawan di Jakarta, Selasa malam (8/4/2025).
Meutya mencontohkan kasus Apple yang berhasil memenuhi persyaratan TKDN melalui skema alternatif, yaitu investasi di bidang edukasi dan pengembangan sumber daya manusia, bukan hanya komponen fisik. “Sebelumnya kita pernah ditransferkan menjadi perhitungannya itu kita transferkan menjadi edukasi dan lain-lain,” kata dia.
“Tapi bukan semangatnya ngurangin, enggak. Cuma dicari solusi agar aman,” tambah Meutya.
Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) adalah persentase komponen produksi yang dibuat di Indonesia pada suatu produk barang dan/atau jasa. Kebijakan ini menjadi indikator penting dalam penentuan kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah, terutama untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri.
Secara formal, TKDN diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 29 Tahun 2017 untuk produk elektronik seperti telepon seluler, komputer genggam, dan komputer tablet, serta Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 34 Tahun 2024 yang mengatur tata cara penghitungan nilai TKDN produk modul surya.
Penerapan TKDN memiliki beberapa manfaat strategis bagi ekonomi nasional:
TKDN dihitung berdasarkan perbandingan antara harga komponen dalam negeri dengan harga produk keseluruhan. Untuk produk barang, perhitungannya mempertimbangkan biaya bahan langsung, tenaga kerja langsung, dan biaya tidak langsung pabrik.
Saat ini, pemerintah sudah memberikan fleksibilitas melalui tiga skema untuk pemenuhan TKDN:
Pernyataan Presiden Prabowo ini merespons masukan dari Ekonom Wijayanto Samirin dari Universitas Paramadina, yang menyoroti sejumlah tantangan ekonomi Indonesia, dari tekanan fiskal hingga deindustrialisasi. Wijayanto mengusulkan pendekatan “eye to eye” dengan Vietnam sebagai kompetitor regional.
“Vietnam tidak ada premanisme, Vietnam tidak ada polisi di pasar modal, Vietnam TKDN fleksibel. Ada begitu banyak point seperti Vietnam,” tutur Wijayanto dalam sarasehan tersebut.
Usulan ini mendapat perhatian khusus dari Presiden. “Saya tertarik dengan usulan neck to neck atau eye to eye itu luar biasa,” kata Prabowo.
Presiden Prabowo juga menegaskan komitmennya untuk melakukan deregulasi yang bijak atau penghapusan regulasi yang tidak lagi efektif untuk menjaga iklim industri. Hal ini sejalan dengan kebijakan efisiensi yang diterapkan Kabinet Merah Putih.
“Deregulasi itu memang saya berniat memangkas sistem perizinan yang berbelit-belit, terlalu banyak. Ini sudah jadi misi kita, kita harus laksanakan,” tegas Prabowo.
Perubahan kebijakan TKDN yang lebih fleksibel diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi industri nasional. Dengan pendekatan yang lebih realistis, perusahaan dapat fokus pada pengembangan aspek yang menjadi keunggulan mereka, tanpa terbebani dengan target komponen lokal yang terlalu tinggi.
Namun, tantangan utama tetap ada pada pengembangan kapasitas industri dalam negeri, khususnya di bidang pendidikan dan penguasaan teknologi. Seperti yang ditekankan Presiden Prabowo, persoalan kemampuan dalam negeri berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia, sistem pendidikan, dan penguasaan iptek.
Instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk mengubah aturan TKDN menjadi lebih fleksibel dan realistis menunjukkan pendekatan pragmatis pemerintah dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Meskipun semangat nasionalisme tetap dipertahankan, pemerintah mulai menyadari pentingnya menciptakan kebijakan yang tidak memberatkan industri dalam negeri.
Langkah ini bisa menjadi katalisator untuk transformasi industri nasional, dengan fokus pada peningkatan kapasitas pendidikan, penelitian, dan pengembangan teknologi, alih-alih sekadar memaksakan target komponen lokal melalui regulasi. Yang terpenting, tujuan akhirnya tetap sama: menjadikan industri Indonesia lebih kompetitif di kancah global sambil tetap mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri.