March 13, 2025 By Abril Geralin
13 Maret 2025 – Pemerintah Indonesia tengah mengkaji usulan baru terkait kebebasan beragama yang diajukan oleh Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai. Usulan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih luas bagi seluruh warga negara agar bebas memeluk agama atau kepercayaan tanpa tekanan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi berbagai isu terkait diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama. Saat ini, hanya enam agama yang secara resmi diakui negara, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun, ada banyak kelompok kepercayaan yang masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan pengakuan hukum.
Menurut Pigai, UU itu perlu dibuat untuk memperbolehkan warga memeluk kepercayaan di luar agama-agama yang telah diakui negara. “Misalnya mereka yang percaya di luar agama resmi. Kami malah menginginkan untuk ke depan harus ada undang-undang kebebasan beragama. Ini sikap kementerian ya,” kata Pigai di kantor Kementerian HAM, Kuningan, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Pigai menegaskan bahwa negara seharusnya tidak hanya sekadar memberikan perlindungan, tetapi juga menjamin kebebasan penuh dalam beragama. Ia menyatakan bahwa kebijakan yang ada saat ini masih menyisakan banyak ketidakadilan bagi kelompok agama minoritas dan penganut kepercayaan lokal.
“Negara tidak boleh menjustifikasi ketidakadilan dalam beragama. Oleh karena itu, kami menginginkan Undang-Undang Kebebasan Beragama sehingga siapa pun anak bangsa bisa beragama,” tambah Pigai.
Usulan ini masih dalam tahap awal dan belum masuk ke dalam pembahasan formal di DPR. Pigai menegaskan bahwa pemerintah terbuka terhadap masukan dan kritik dari masyarakat.
“Silakan bila ada yang mau protes, tidak apa-apa. Ada yang tidak protes, tidak apa-apa. Kan boleh dong namanya juga demokrasi,” tutur Pigai.
Usulan ini juga muncul sebagai respons terhadap penurunan indeks demokrasi Indonesia dalam laporan The Democracy Index 2024 yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam laporan tersebut, kebebasan sipil, termasuk kebebasan beragama, dinilai masih kurang optimal.
Selain mendorong pembentukan UU Kebebasan Beragama, Kementerian HAM juga merekomendasikan revisi terhadap Peraturan Kapolri mengenai ujaran kebencian serta revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi PKB, Mafirion, menanggapi usulan Menteri HAM Natalius Pigai mengenai undang-undang tentang kebebasan beragama. Mafirion meminta Pigai berfokus pada hal-hal substansial.
Meskipun mendapat dukungan dari beberapa kalangan, ada juga yang mempertanyakan urgensi dari usulan ini. Beberapa anggota DPR menyatakan bahwa kebebasan beragama sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta berbagai regulasi lainnya, sehingga tidak perlu adanya undang-undang tambahan.
“Apakah sekarang ini tanpa UU Kebebasan Beragama dengan aturan-aturan yang ada dan UUD 1945, orang tidak bebas beragama? Bebas,” kata salah satu anggota Komisi XII DPR RI.
“Bukankah kita tanpa uu selama ini kan kita bebas juga beragama gitu. UUD 1945 mengatur, kan banyak juga UUD 1945 Pasal 29 atau berapa gitu, Pasal 29 ya, udah itu UU HAM mengatur, kan sudah ada semua, kenapa harus dibuat lagi UU kebebasan beragama,” jelasnya.
Namun, para pendukung usulan ini berpendapat bahwa regulasi yang lebih spesifik tetap diperlukan untuk memastikan tidak ada celah hukum yang bisa digunakan untuk membatasi kebebasan beragama.
Usulan pembentukan Undang-Undang Kebebasan Beragama mencerminkan upaya pemerintah untuk menjamin hak beragama bagi seluruh warga negara. Meskipun masih dalam tahap wacana, perdebatan yang muncul menunjukkan bahwa isu kebebasan beragama tetap menjadi perhatian utama dalam demokrasi Indonesia. Apakah usulan ini akan diterima dan diundangkan, masih harus menunggu proses lebih lanjut di parlemen dan respons dari masyarakat luas.
Related Tags & Categories :