Leet Media

Lagi-lagi! Kasus Korupsi LPEI Berpotensi Rugikan Negara Rp11.7 triliun, Gunakan Modus ‘Uang Zakat’

March 6, 2025 By Rio Baressi

Sumber: Detik.com

6 Maret 2025 – Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kembali mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima tersangka. Skandal ini melibatkan pemberian fasilitas kredit yang berujung pada potensi kerugian negara sebesar Rp 11,7 triliun. Berikut adalah rincian kasus yang mengguncang dunia keuangan Indonesia.

Profil Perusahaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank merupakan lembaga keuangan khusus milik Pemerintah Republik Indonesia didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009. LPEI termasuk Badan Usaha Milik Negara tetapi bukan seperti perusahaan dibawah kendali BUMN lainnya, melainkan LPEI di bawah kendali Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

LPEI bertugas untuk pembiayaan ekspor atas transaksi atau proyek yang secara komersial sulit dilaksanakan, tetapi dianggap perlu oleh pemerintah untuk menunjang kebijakan ekspor nasional.

KPK Tetapkan Lima Tersangka dalam Kasus LPEI

KPK telah mengumumkan lima orang tersangka yang terlibat dalam kasus ini. Dua di antaranya merupakan direktur di LPEI, sementara tiga lainnya berasal dari pihak debitur, yaitu PT Petro Energy (PT PE). Berikut daftar lengkapnya:

  1. Dwi Wahyudi – Direktur Pelaksana I LPEI
  2. Arif Setiawan – Direktur Pelaksana IV LPEI
  3. Jimmy Masrin – Komisaris Utama PT Petro Energy
  4. Newin Nugroho – Direktur Utama PT Petro Energy
  5. Susy Mira Dewi Sugiarta – Direktur PT Petro Energy

Menurut KPK, pemberian fasilitas kredit oleh LPEI kepada PT PE diduga mengakibatkan kerugian negara sebesar USD 60 juta atau sekitar Rp 900 miliar. Namun, jika dihitung secara keseluruhan dari 11 debitur yang menerima fasilitas kredit bermasalah, total potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 11,7 triliun.

Modus Korupsi: “Uang Zakat” untuk Gratifikasi

Dalam pengusutan kasus ini, KPK menemukan direksi LPEI meminta jatah kepada debitur dengan modus ‘Uang Zakat’, istilah ini digunakan untuk menyamarkan pembayaran gratifikasi yang diberikan oleh para debitur kepada direksi LPEI sebagai imbalan atas pencairan kredit.

“Memang ada namanya ‘Uang Zakat’ yang diberikan oleh para debitur kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut, yaitu besarannya antara 2,5 hingga 5 persen dari kredit yang diberikan,” ungkap Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo.

KPK telah menemukan bukti berupa dokumen elektronik dan hasil asset tracing yang menguatkan dugaan ini. Bahkan, analisis awal menunjukkan bahwa sejumlah dana hasil gratifikasi ini dialirkan ke berbagai kepentingan pribadi tersangka.

Penyalahgunaan Fasilitas Kredit

KPK juga menemukan bahwa PT Petro Energy, salah satu debitur yang menerima kredit dari LPEI, memalsukan dokumen purchase order dan invoice yang digunakan sebagai dasar pencairan dana. Selain itu, laporan keuangan perusahaan pun dimanipulasi (window dressing) untuk mendapatkan tambahan kredit.

Lebih lanjut, LPEI disebut tetap memberikan kredit meskipun sudah mengetahui bahwa PT PE tidak layak mendapatkan fasilitas tersebut. Direksi LPEI bahkan tidak melakukan inspeksi terhadap jaminan atau agunan yang diajukan PT PE dalam proposal kreditnya.

“Kredit pertama sebesar Rp 229 miliar dicairkan tanpa pemeriksaan menyeluruh, meskipun sudah ada laporan dari pihak analis yang menyebutkan bahwa debitur tidak memenuhi syarat,” tambah Budi.

Selain itu, PT PE juga mendapatkan tambahan kredit (top-up) sebesar Rp 400 miliar dan Rp 200 miliar, meskipun sudah diketahui adanya kejanggalan dalam pencairan sebelumnya.

Potensi Kerugian Negara Mencapai Rp 11,7 Triliun

Berdasarkan hasil penyelidikan KPK, dugaan penyimpangan dalam pemberian fasilitas kredit oleh LPEI tidak hanya terjadi pada PT PE, tetapi juga pada 10 debitur lainnya. Sektor-sektor yang diduga menerima kredit bermasalah meliputi perkebunan, perkapalan (shipping), dan energi.

“Kami masih melakukan pendalaman terhadap debitur lainnya. Namun, potensi kerugian negara akibat penyalahgunaan fasilitas kredit ini diperkirakan mencapai Rp 11,7 triliun,” ungkap Budi.

Langkah Selanjutnya dalam Pengusutan Kasus

Saat ini, KPK masih terus melengkapi alat bukti untuk memperkuat dakwaan terhadap para tersangka. Hingga kini, belum ada satu pun dari lima tersangka yang ditahan, namun KPK memastikan bahwa proses hukum akan terus berjalan.

Kasus ini menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di sektor pembiayaan ekspor di Indonesia. Dengan potensi kerugian negara yang begitu besar, diharapkan penegakan hukum dapat berjalan secara transparan dan tuntas agar kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan negara tetap terjaga.