September 10, 2025 By RB
10 September 2025 – Guru besar Universitas Indonesia sekaligus pakar manajemen, Rhenald Kasali, mengangkat fenomena yang menurutnya unik dan paradoksal di tengah masyarakat Indonesia. Ia menyebut kondisi ini sebagai happy poor, yaitu situasi ketika masyarakat tetap menunjukkan optimisme dan kebahagiaan meski hidup dalam keterbatasan.
Rhenald menilai bahwa kaum muda maupun para pendidik sama-sama merasakan frustrasi dengan keadaan sosial dan ekonomi saat ini. Namun, frustrasi tersebut tidak serta-merta membuat masyarakat kehilangan semangat hidup. Fenomena inilah yang menjadi dasar dari istilah happy poor yang ia sampaikan.
“Kaum muda itu merasakan rasa frustasinya, guru dan para pendidik itu merasakan rasa frustasinya. Sepanjang masyarakat merasakan sama semua, that’s why, ini yang disebut dengan fenomena ‘happy poor’.” kata Rhenald Kasali saat diskusi dengan Leet dan media lainnya pada Kamis (04/09/2025).
Menurut Rhenald, biasanya kebahagiaan diasosiasikan dengan negara-negara maju seperti Skandinavia atau Eropa yang memiliki fasilitas publik memadai, rumah sakit berkualitas, dan sistem ekonomi stabil. Namun, data di Indonesia justru menunjukkan paradoks.
Berdasarkan survei Ipsos, tingkat optimisme masyarakat Indonesia mencapai 90 persen, bahkan tertinggi di dunia. Hal ini menurutnya cukup mengherankan, mengingat kondisi fasilitas publik dan ekonomi yang masih jauh dari ideal.
“Kan selama ini yang happy itu seakan akan negara-negara Skandinavia, Eropa, negara kaya semuanya, karena ukurannya adalah akses pada fasilitas publik yang memadai dan ekonomi, rumah sakit dan sebagainya. Indonesia di satu sisi didapatkan data-data yang bertentangan, angka yang disurvei oleh Ipsos tentang optimismenya (masyarakat) itu 90 persen tertinggi di dunia, aneh kan?” ujarnya.
Selain optimisme, Rhenald juga menyoroti data lain yang memperkuat fenomena happy poor. Selama tujuh tahun berturut-turut, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi di dunia. Masyarakat Indonesia dikenal paling rajin berdonasi meski tidak hidup dalam kemewahan.
“Kalau kita tanya sama mahasiswa, kalian happy nggak? kalian optimis nggak? Enggak jawabannya. Kemudian yang menarik lagi adalah Indonesia tujuh tahun berturut-turut negara yang paling rajin berdonasi, tertinggi di dunia! ini fenomena ‘happy poor’ yang luar biasa,” tegasnya.
Pernyataan Rhenald Kasali ini membuka ruang diskusi bahwa kebahagiaan masyarakat tidak selalu identik dengan kesejahteraan ekonomi atau fasilitas publik yang sempurna. Fenomena happy poor di Indonesia memperlihatkan karakter sosial unik: masyarakat tetap merasa optimis, hidup dengan solidaritas, dan memiliki jiwa kedermawanan yang tinggi meski berada dalam keterbatasan.
Fenomena ini sekaligus menjadi pengingat bahwa indikator kebahagiaan tidak bisa diukur hanya dari aspek material, melainkan juga dari nilai sosial dan budaya yang melekat di masyarakat.