September 9, 2025 By RB
9 September 2025 – Meski pernah menjabat sebagai Ketua DPR RI, KH. Idham Chalid dikenal sebagai salah satu pejabat paling sederhana dalam sejarah Indonesia. Ia menolak segala bentuk fasilitas negara untuk keluarganya, bahkan lebih memilih hidup dengan kejujuran dan kesederhanaan. Kisah hidupnya menjadi cermin moral yang relevan hingga saat ini, ketika gaya hidup pejabat sering kali disorot publik.
Idham Chalid bukanlah sosok biasa. Lahir di Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1921, ia meniti pendidikan di berbagai lembaga Islam ternama hingga menimba ilmu di Pondok Modern Gontor. Karier politiknya pun gemilang, tercatat pernah menjadi Wakil Perdana Menteri, Menteri Kesejahteraan Rakyat, Ketua DPR RI periode 1971–1977, hingga Ketua MPR RI.
Selain itu, Idham Chalid juga memimpin Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ketua Tanfidziyah terlama dalam sejarah, yakni selama 28 tahun (1956–1984). Dengan posisi setinggi itu, wajar bila ia berkesempatan menikmati kemewahan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, ia memilih jalan hidup sederhana.
Kisah kesederhanaan Idham Chalid begitu terkenal. Meski ayahnya seorang Ketua DPR, anak-anaknya tidak dimanjakan fasilitas negara. Mereka berjualan nasi dan air untuk menyambung hidup, sementara untuk bepergian keluarga ini lebih sering menggunakan metromini atau angkutan umum.
Idham Chalid selalu berpesan kepada istrinya: “Anak-anak hanya boleh makan dari gaji saya, agar mereka terjaga dari uang haram.” Pesan tersebut mencerminkan prinsip hidupnya yang teguh menjaga integritas dan menjauhkan keluarga dari kenyamanan semu yang tidak halal.
Berbeda dengan banyak pejabat lain yang setelah pensiun kerap menjabat sebagai komisaris atau direksi perusahaan besar, Idham Chalid memilih jalan lain. Ia menolak semua tawaran bisnis dan kembali menjadi guru agama. Selain itu, ia juga mengabdikan diri dengan memimpin pondok pesantren, membina rumah yatim, dan mengajar murid-murid di rumahnya.
Keputusan ini menunjukkan bahwa baginya pengabdian sejati bukan diukur dari harta, melainkan dari ilmu dan teladan yang diwariskan.
Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010 dalam usia 88 tahun. Atas jasa dan pengabdiannya, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 2011. Sosoknya juga diabadikan dalam pecahan uang kertas Rp5.000 yang diterbitkan Bank Indonesia.
Lebih dari sekadar gambar di uang, keteladanan Idham Chalid tetap hidup dalam nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan keberanian menolak fasilitas jabatan yang bukan haknya.
Di era ketika pejabat publik kerap dikritik karena gaya hidup mewah, kisah Idham Chalid menjadi pengingat penting. Ia membuktikan bahwa wibawa seorang pemimpin tidak lahir dari fasilitas negara, melainkan dari integritas dan keteguhan moral.
Bagi generasi muda, teladan ini mengajarkan bahwa jabatan bukanlah tujuan untuk memperkaya diri, melainkan sarana pengabdian. Kejujuran mungkin tidak membawa kekayaan materi, tetapi bisa meninggalkan nama harum yang dikenang sepanjang masa.
Kisah Idham Chalid membuktikan bahwa kesederhanaan bukan kelemahan, melainkan sumber kekuatan. Sebagai Ketua DPR “termiskin”, ia justru meninggalkan kekayaan terbesar: keteladanan moral. Pertanyaannya kini, masihkah bangsa ini mampu melahirkan pemimpin dengan prinsip seteguh Idham Chalid?
Related Tags & Categories :