Jakarta, 10 November 2024 – Bangsa Indonesia berdiri tegak di atas fondasi perjuangan dan pengorbanan para pahlawannya. Nama-nama seperti Soekarno, Hatta, Diponegoro, dan Kartini telah terukir dengan tinta emas dalam lembaran sejarah. Namun, di balik gemerlap nama-nama besar tersebut, tersimpan kisah-kisah heroik dari sosok-sosok yang jasanya tak kalah besar, namun belum mendapatkan pengakuan formal sebagai pahlawan nasional.
Mereka adalah pejuang-pejuang yang berjuang di garis depan maupun belakang layar, dengan semangat membara untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Keringat dan air mata mereka turut membasahi tanah air ini, namun kisah perjuangan mereka seringkali terlupakan oleh ingar bingar zaman.
Pada momentum Hari Pahlawan ini, mari kita mengenang dan menghormati jasa-jasa mereka, para pahlawan tanpa gelar, yang telah berjuang demi Indonesia yang lebih baik.
1. Maria Walanda Maramis: Pelopor Emansipasi Wanita di Bumi Minahasa
Jauh sebelum Raden Ajeng Kartini menyuarakan emansipasi wanita di Jepara, Maria Walanda Maramis telah menjadi pelopor perjuangan hak-hak perempuan di tanah Minahasa. Lahir pada tanggal 1 Desember 1872, Maria Walanda Maramis adalah sosok visioner yang berani mendobrak adat dan tradisi patriarki yang mengungkung perempuan pada zamannya.
Ia mendirikan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak (PIKAT) pada tahun 1917, sebuah organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan Minahasa melalui pendidikan dan pemberdayaan. Melalui PIKAT, Maria Walanda Maramis mengajarkan perempuan Minahasa untuk membaca, menulis, menjahit, dan berbagai keterampilan lainnya. Ia juga mendorong perempuan untuk berani bersuara dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan politik.
Perjuangan Maria Walanda Maramis tidak hanya terbatas pada bidang pendidikan dan sosial. Ia juga aktif memperjuangkan hak politik perempuan. Pada tahun 1919, ia berhasil memperjuangkan hak pilih perempuan dalam pemilihan anggota Badan Perwakilan Daerah Minahasa. Berkat kegigihannya, pada tahun 1921, pemerintah Hindia Belanda akhirnya memberikan hak pilih kepada perempuan Minahasa.
Dedikasi Maria Walanda Maramis terhadap kemajuan perempuan Minahasa membuatnya dikenang sebagai sosok inspiratif. Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya.
2. Mendur Bersaudara: Mengabadikan Detik-detik Proklamasi
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah momen sakral yang menandai lahirnya sebuah bangsa baru. Di balik peristiwa bersejarah tersebut, terdapat dua sosok penting yang mengabadikannya dalam jepretan kamera, yaitu Frans Mendur dan Alex Mendur.
Mendur bersaudara adalah jurnalis foto yang bekerja di Kantor Berita Domei, kantor berita resmi pemerintah Jepang pada masa pendudukan. Dengan keberanian dan semangat patriotisme yang tinggi, mereka berhasil mengabadikan detik-detik pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Pada saat itu, situasi keamanan sangat ketat. Tentara Jepang melarang keras segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Frans dan Alex Mendur harus mengambil risiko besar dengan membawa kamera dan rol film secara diam-diam ke kediaman Soekarno.
Ketika sedang memotret, mereka ketahuan oleh tentara Jepang. Frans Mendur terpaksa menyerahkan rol film kepada tentara Jepang, sementara Alex Mendur berhasil menyembunyikan rol film lainnya dengan menguburnya di halaman rumah Soekarno. Setelah situasi mereda, Alex Mendur kembali dan mengambil rol film tersebut. Ia kemudian mencetak foto-foto bersejarah itu di kamar gelap Kantor Berita Domei.
Foto-foto karya Mendur bersaudara menjadi saksi bisu proklamasi kemerdekaan Indonesia. Foto-foto tersebut tersebar luas dan menjadi simbol perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Berkat jasa Mendur bersaudara, generasi penerus bangsa dapat menyaksikan momen bersejarah tersebut.
3. Burhanuddin Mohammad Diah: Wartawan Pejuang dan Penyelamat Naskah Proklamasi
Burhanuddin Mohammad Diah, atau yang lebih dikenal dengan B.M. Diah, adalah seorang wartawan, diplomat, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada tanggal 7 April 1917.
B.M. Diah memulai karir jurnalistiknya di harian “Soeara Oemoem” pada tahun 1936. Ia kemudian menjadi pemimpin redaksi harian “Merdeka” pada tahun 1945. Sebagai seorang wartawan, B.M. Diah dikenal kritis dan berani menyuarakan kebenaran. Ia kerap menulis artikel-artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, B.M. Diah aktif dalam pergerakan bawah tanah. Ia ditangkap oleh Kempetai (polisi militer Jepang) karena dianggap membahayakan. Setelah Indonesia merdeka, B.M. Diah berperan penting dalam menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan ke seluruh pelosok Nusantara. Ia merebut percetakan milik Jepang “Djawa Shimbun” dan menggunakannya untuk mencetak surat kabar dan selebaran yang berisi berita proklamasi.
Tak hanya itu, B.M. Diah juga berjasa dalam menyelamatkan naskah asli proklamasi kemerdekaan. Ketika Sayuti Melik selesai mengetik naskah proklamasi, ia membuang naskah asli yang ditulis tangan oleh Soekarno. B.M. Diah yang melihat kejadian tersebut segera memungut naskah asli dan menyimpannya sebagai dokumen pribadi. Pada tahun 1992, B.M. Diah menyerahkan naskah asli proklamasi kepada Presiden Soeharto.
Berkat jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan dan pelestarian sejarah, B.M. Diah dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana oleh pemerintah Indonesia.
4. Surastri Karma Trimurti: Srikandi Pergerakan dan Saksi Bisu Perumusan Naskah Proklamasi
Surastri Karma Trimurti adalah seorang perempuan pejuang yang memiliki peran penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia adalah istri dari Sayuti Melik, tokoh yang berjasa dalam pengetikan naskah proklamasi kemerdekaan.
Lahir pada tanggal 11 Mei 1912 di Boyolali, Jawa Tengah, Surastri Karma Trimurti adalah sosok perempuan cerdas dan berani. Ia bekerja sebagai wartawan, guru, dan penulis. Pada masa penjajahan Belanda, ia aktif menulis artikel-artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah kolonial dan menyuarakan semangat kebangsaan.
Surastri Karma Trimurti juga dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita. Ia mendorong perempuan Indonesia untuk tidak hanya berperan di ranah domestik, tetapi juga aktif dalam kehidupan sosial dan politik. Ia menentang keras pandangan feodal yang membatasi peran perempuan.
Pada malam menjelang proklamasi kemerdekaan, Surastri Karma Trimurti hadir dan menjadi saksi bisu perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Ia turut memberikan masukan dan saran dalam penyusunan naskah proklamasi.
Setelah Indonesia merdeka, Surastri Karma Trimurti tetap aktif dalam dunia jurnalistik dan politik. Ia menjadi anggota DPR dan aktif menyuarakan aspirasi rakyat. Berkat jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa, Surastri Karma Trimurti dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh pemerintah Indonesia.
5. KH Ahmad Sanusi: Ulama Pejuang dan Pendiri Pesantren Modern
KH Ahmad Sanusi adalah seorang ulama, pejuang kemerdekaan, dan tokoh pendidikan Indonesia. Ia lahir di Sukabumi, Jawa Barat, pada tanggal 18 September 1888.
KH Ahmad Sanusi merupakan pendiri Pondok Pesantren Syamsul Ulum di Sukabumi, salah satu pesantren modern pertama di Indonesia. Ia mengintegrasikan pendidikan agama dengan ilmu pengetahuan umum, sehingga santri-santrinya tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki wawasan kebangsaan dan kemodernan.
Pada masa penjajahan Belanda, KH Ahmad Sanusi aktif dalam organisasi Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Ia juga menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Sarekat Islam. KH Ahmad Sanusi dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, KH Ahmad Sanusi bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Ia menolak bekerja sama dengan Jepang dan aktif dalam pergerakan bawah tanah. Setelah Indonesia merdeka, KH Ahmad Sanusi menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan DPR.
KH Ahmad Sanusi juga berperan penting dalam meredam pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Ia menggunakan pendekatan persuasif dan dialog untuk menyadarkan para pemberontak agar kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, pendidikan, dan perdamaian, KH Ahmad Sanusi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1961.
Penutup
Kelima sosok di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak pahlawan tanpa gelar yang telah berjuang demi Indonesia. Kisah perjuangan mereka mungkin tidak sepopuler pahlawan-pahlawan nasional lainnya, namun kontribusi mereka tak kalah penting dalam membentuk Indonesia yang kita cintai ini.
Mari kita kenang jasa-jasa mereka, teladani semangat juang mereka, dan wariskan kisah perjuangan mereka kepada generasi penerus bangsa. Semoga artikel ini dapat menginspirasi kita semua untuk senantiasa menghargai jasa para pahlawan, baik yang telah mendapatkan gelar maupun yang belum. (AMP/JS)
Sumber :
- ruangguru.com
- regional.kompas.com
- suarasurabaya.net
- kemenparekraf.go.id
- new.detik.com
- kompas.com
- inilah.com
- quipper.com